Oleh: I Made Urip
Anggota DPR RI dan Ketua DPP PDIP
TRIBUNNEWS.COM - Hari ini, Sabtu (27/7/2024), kita peringati 28 tahun tragedi berdarah di Jakarta yang kemudian dikenal dengan istilah Kudatuli, singkatan dari Kerusuhan 27 Juli 1996.
Kudatuli berawal dari upaya pengambilalihan secara paksa Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat.
Saat itu, Kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri hendak direbut paksa oleh massa pendukung Soerjadi yang didukung orang-orang berambut cepak dan berbadan tegap.
Akhirnya meletuplah Kudatuli itu.
Megawati merupakan Ketua Umum PDI hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, Jawa Timur, 2-6 Desember 1993.
Sedangkan Soerjadi adalah Ketua Umum PDI hasil KLB di Medan, Sumatera Utara, 22 Juni 1996.
Dualisme kepemimpinan PDI itu bermula dari menyempalnya 16 fungsionaris DPP PDI hasil KLB Surabaya yang kemudian menggelar KLB di Medan yang dikomandani Fatimah Achmad yang telah dipecat dari PDI bersama 15 fungsionaris lainnya yang telah menyempal itu.
Baca juga: Refleksi 28 Tahun Kudatuli, PDIP Percaya Kekuatan Arus Bawah Mampu Lawan Tembok Kekuasaan Lupa Diri
Pemerintahan rezim Soeharto kemudian mengakui PDI yang dipimpin Soerjadi, dan sebaliknya tidak mengakui PDI yang dipimpin Megawati.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, kerusuhan itu mengakibatkan 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang lainnya hilang. Adapun kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp100 miliar.
Kudatuli pun menjadi semacam puncak perlawanan Ibu Megawati terhadap rezim Orde Baru. Lalu lahirlah gerakan Reformasi yang mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998 saat Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden.
Tak akan ada Reformasi jika tak ada Kudatuli. Kudatuli adalah tonggak Reformasi.
Selain secara politik, Ibu Megawati dalam melawan rezim Orde Baru juga melakukannya secara hukum. Beliau taat asas dan taat hukum.
Tak ada aksi anarkis yang digerakkan Ibu Megawati dalam melawan rezim.