Blokade laut armada militer Amerika Serikat tidak banyak berarti, dan sebagian besar tanker Iran berhasil mendarat di Caracas, menyelamatkan krisis di negara itu.
Ketika pecah perang di Ukraina dan disusul konflik Israel-Hamas, Washington agak mengendorkan sanksi dengan mengizinkan eksplorasi minyak melibatkan raksasa migas AS.
Minyak Venezuela boleh disedot oleh perusahaan migas patungan Venezuela dengan Chevron, lalu hasilnya dialirkan ke pasar Amerika.
Data global menunjukkan Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, yaitu sebesar 300 miliar barel (4,8×1010 m3) per 1 Januari 2014.
Tinjauan Statistik BP Energi Dunia edisi 2019 melaporkan total cadangan minyak Venezuela adalah 303,3 miliar barel. Angka ini sedikit di atas Arab Saudi sebesar 297,7 miliar barel.
Namun minyak mentah Venezuela memiliki karakteristik berbeda. Berat jenis lebih berat dari standar minyak mentah lain, sehingga pemrosesannya lewat kilang khusus.
Inilah pangkal masalah, sebab musabab, dan pemantik dari berbagai usaha Washington mengguncang Venezuela.
Destabilisasi Venezuela dilakukan dari dalam maupun luar negeri. Paling dahsyat adalah ketika intelijen AS dan Kolombia bersekongkol menyelundupkan regu pembunuh ke Venezuela.
Regu pembunuh yang mengincar Maduro itu terdiri anggota kelompok tentara bayaran eks Green Berret AS, para petualang Kolombia dan oposisi Venezuela.
Operasi itu bisa digagalkan di perbatasan Kolombia-Venezuela. Operasi lintas batas itu jadi ledakan di tengah guncangan politik Venezuela saat oposisi mengklaim diri sebagai pemerintah yang sah.
Kelompok oposisi ini menerima dukungan kuat Washington, sejumlah anggota Uni Eropa, serta beberapa rezim pro-AS di sekitar Venezuela.
Hingga hari ini, Nicolas Maduro masih bertahan dengan politik populisnya, mempertahankan minyak Venezuela dari upaya penjarahan AS dan sekutunya.
Caracas bersahabat kuat dengan Rusia, Iran, dan China, tiga kekuatan baru yang jadi penyeimbang hegemoni AS dan barat.
Bahkan di tengah embargo dan aneka sanksi yang diterimanya, Iran mengirimkan kapal-kapal tanker minyaknya, memasok Venezuela yang kesulitan mengolah kekayaannya sendiri.
Sanksi dan blokade AS membuat Venezuela tidak mampu mengelola kilang minyaknya secara mandiri, karena keterbatasan peralatan dan suku cadang.
Ekonomi Venezuela merosot ke titik sangat rendah akibat embargo Washington. Nilai mata uang Bolivar terjungkir sampai nyaris tidak ada harganya akibat inflasi parah.
Tapi Nicholas Maduro dan Venezuela tetap bertahan, kelompok oposisi yang didukung AS dan barat gagal mencapai tujuan mendongkel kelompok sayap kiri.
Lantas apa upaya terbaru AS, yang rupanya tetap mengincar Venezuela di tengah krisis minyak dunia akibat konflik di Timur Tengah dan Ukraina?
AS memang tidak terlampau terdampak oleh krisis minyak, seperti yang dialami negara dunia ketiga dan Eropa.
AS masih bisa mendapatkan minyak dari sumur-sumur di Irak dan Qatar. Termasuk sumur-sumur minyak di Suriah utara yang disedotnya secara ilegal.
Enam bulan lalu, tingginya harga minyak di Amerika di tengah sanksi barat terhadap minyak dan gas Rusia membuat pemerintahan Joe Biden berebut mendapatkan lebih banyak pasokan.
Kekuasaan supernya bisa mengatur dari mana pasokan minyak itu datang. Bahkan ia bisa mengambil untung dengan menjualnya kembali ke negara-negara Eropa.
Washington memang tidak bisa mempengaruhi Rusia dan OPEC yang dipimpin Saudi. Tapi mereka bisa menambah atau mengurangi pasokan untuk mengurangi dampak politik domestiknya.
Gedung Putih mempertimbangkan kemungkinan yang bisa mereka ambil. Di sinilah Venezuela menemukan konteksnya.
Washington menawarkan kesepakatan baru dengan Venezuela untuk meringankan beban Amerika soal stok minyak.
AS juga berusaha meredam Venezuela yang semakin mesra dengan Tiongkok dan Rusia di halaman belakang Washington.
Gedung Putih juga ingin memitigasi mengalirnya migran dari Venezuela ke AS sebagai akibat dari banyaknya warga negara tersebut ingin keluar dari kesulitan ekonomi.
Jadi Washington beralih ke Presiden Venezuela yang sama, Nicolas Maduro. Orang yang tempo hari dilabel sebagai tokoh utama narkoterorisme.
Maduro adalah orang yang sama yang didelegitimasi oleh AS selama bertahun-tahun. Washington mempromosikan Juan Guaido, tokoh oposisi Venezuela sebagai Presiden Venezuela yang sah.
Nicolas Maduro juga dibanderol $15 juta kepada siapa saja yang bisa memberikan jalan untuk menangkap dan menghukum tokoh ini.
Pembalikan sikap drastis ini sangat khas Washington. Mereka berpikir pragamatis belaka. Sepanjang menguntungkan, sebrutal apapun rekam jejak musuh akan dijadikan teman.
Langkah kooperatif Washington dimulai November 2022 saat raksasa migas Chevron, mendapatkan izin untuk memompa kembali minyak Venezuela.
Ini terjadi selang sebulan setelah pengabaian sanksi atas Venezuela. AS berjanji membuka blokir sebagian dana penjualan minyak Caracas yang disita pemerintah AS.
Imbal baliknya, AS mengizinkan raksasa minyak negara Venezuela, Petroleos de Venezuela (PDVSA) mengekspor minyaknya hanya ke pasar AS.
Pembayaran dilakukan anak perusahaan PDVSA di Amerika, Citgo, yang sebelumnya menyita miliaran pendapatan minyak Venezuela yang ada di bank AS.
Sebagian dari dana yang disita itu telah digunakan untuk mensponsori gerakan Juan Guaido, boneka politik model pergantian rezim ala Washington.
Lalu di Pemilu 2024, Washington kembali mensponsori Edmundo Gonzales, tokoh oposisi Venezuela yang ternyata gagal mengalahkan Nicolas Maduro.
Kini, Gedung Putih kembali memulai petualangan barunya, melanjutkan operasi pendongkelan rezim dunia ketiga, yang dianggapnya tidak bisa diatur atau diajak kompromi.
Menyita pesawat yang biasa digunakan Presiden Venezuela Nicolas Maduro adalah tiupan peluit tanda dilanjutkannya politik hegemonik Washington di Amerika Selatan.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)