INDONESIA akan mencatatkan sejarah sebagai negara yang menyelenggarakan pemilihan umum serentak terbanyak di dunia. Tepat pada 27 November 2024, pemerintah akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 545 daerah yang terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Jumlah peserta pemilu atau pasangan calon yang akan dipilih serentak juga terbanyak di dunia.
Hingga kini, sudah terdapat 1.518 pasangan calon (paslon) yang mendaftar baik yang diusung partai politik atau calon independen. Artinya, terdapat 3.036 calon yang akan terlibat dalam kontestasi 27 November 2024 nanti.
Rinciannya, 51 paslon diusung dari jalur independen dan 1467 paslon yang diusung parpol atau gabungan parpol.
Untuk 51 paslon dari jalur independen, satu paslon mendaftar di pemilihan gubernur dan wakil gubernur,38 paslon untuk bupati dan wakil bupati serta 12 paslon untuk wali kota dan wakil wali kota.
Sedangkan 1467 paslon dari jalur parpol atau gabungan parpol, rinciannya 100 paslon tingkat provinsi, 1.095 paslon tingkat kabupaten, dan 272 paslon tingkat kota.
Baca juga: KPU Akui Ada Potensi Kecurangan di Pilkada Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong
Untuk jumlah pemilih , Indonesia masih kalah jauh di banding India. Jumlah pemilih di India pada Pemilu Juni 2024 ini mencapai 996 juta.
Mengacu pada Pilpres Indonesia tahun 2024, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) mencapai 204 juta. Angka tersebut diprediksi bisa tembus 210 pemilih tetap pada Pilkada serentak ini.
Meski menjadi Pemilu serentak terbesar di dunia, ada beberapa kekurangan yang membuat pesta demokrasi ini tidak sempurna.
Hingga 15 September atau sepekan jelang penetapan pasangan calon oleh KPU, masih terdapat 37 daerah yang hanya diikuti satu pasang calon atau melawan kotak kosong.
Jumlah ini sudah berkurang banyak setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No.60/PUU-XXII/2024 tentang syarat ambang batas pencalonan di UU Pilkada. Sebelum ada putusan MK, Anies Baswedan menyebut terdapat 94 daerah yang hanya diikuti satu pasang calon.
Besarnya jumlah calon tunggal sebelum MK menerbitkan putusan tersebut sebagian diantaranya karena syarat 20 persen perolehan kursi di DPRD sulit tercapai. Salah satunya karena ada koalisi besar yang terbentuk, sehingga parpol yang tak ikut berkoalisi, akhirnya tak bisa mengajukan calon.
Kini setelah MK membuka keran demokrasi dengan syarat pencalonan hanya 6 sampai 10 persen perolehan suara pada Pemilu legislatif 2024, masih terdapat parpol atau koalisi parpol di daerah yang tak bisa mengajukan pasangan calon.
Calon tunggal atau melawan kotak kosong, tak hanya menggerus demokrasi tapi jauh mengurangi kadar kualitas demokrasi. Rakyat yang seharusnya bisa memilih beberapa paslon, dipaksa hanya memilih calon tunggal.