Oleh Pastor Yosafat Ivo OFMCap, Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Agung Medan
Pengantar
Beptisan menghantar setiap umat Katolik masuk dalam dwi status; yakni menjadi anggota komunitas gerejawi dan juga komunias insani (Indonesia). Dengan demikian umat Katolik adalah warga Gereja (Katolik) dan sekaligus juga menjadi warga negara Indonesia.
Ini selaras dengan penegasan dari Mgr Albertus Soegijapranata kita adalah seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia. Status warga Gereja dan negara tentu memiliki konsekwnsi logis bagi Katolik yakni taat kepada Gereja dan taat kepada pemerintah (bdk Matius 22: 15-21).
Keterlibatan Katolik membangun negara adalah panggilan moral untuk membangun Gereja dan juga negara. Ini adalah sebuah ketaatan yang luhur karena ketaatan kepada Allah sebagai yang utama dan ketaatan kepada pemerintah tidak perlu dipertentangkan. Nyata dalam dua sisi mata uang yang punya satu kesatuan, hanya berbeda dalam penerapannya. Bahasa yang lebih fair ketaatan itu diwujudkan sesuai dengan porsinya masing-masing.
Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?”; Yesus memberikan jawaban yang jelas, “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22;21).
Baca juga: Keterlibatan Tokoh Adat dan Gereja Jadi Kunci Pembebasan Pilot Susi Air
Yesus membedakan antara urusan kemanusiaan yang harus dijalankan dengan kewajiban kepada Allah yang mesti ditaati, sehingga umat Katolik dapat memberikan kewajibannya dengan tepat.
Ini mengandung arti bahwa identitas orang Katolik harus menjadi Indonesia seutuhnya dan serentak menjadi Katolik seutuhnya, bukan menjadi manusia abu-abu. Tetapi sungguh-sungguh Katolik dan sungguh-sungguh Indonesia.
Gereja itu Politis
Berbicara tentang Gereja itu politis tentu dalam konteks kehadiran Gereja sebagai berkat dalam konteks sosial, politik, dan kemasyarakatan. Gereja adalah kumpulan komunitas yang seyogianya aktif berpartisipasi dalam membangun ketiga aspek tersebut.
Paus Fransiskus menegaskan Gereja Katolik bukanlah komunitas yang tertutup dan buta akan masalah sosial, politik dan kemasyarakatan. Tetapi sungguh terbuka dan memberikan solusi dengan semangat kristiani atas semua persoalan duniawi.
Tugas ini mengambil bentuknya yang paling konkret dalam keterlibatan orang Katolik dalam kehidupan sosial politik. Keterlibatan orang katolik dalam kehidupan sosial politik adalah kontribusi sekaligus tugas utama yang dapat dilaksanakan umat Katolik dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa di tengah kecemasan dan harapan dunia.
Dengan semangat dasar ini tidak ada alasan bagi umat Katolik untuk menyebut politik itu sebagai sesuatu yang kotor dan penuh dengan akal busuk tetapi sebagai usaha untuk mewujudkan kesejahteraan umum (Bonum Commune). Di arena inilah tugas dan panggilan Gereja, khususnya awam untuk menjadi garam dan terang dunia.
Gereja menegaskan dirinya serta keberadaannya di dunia sebagai sakramen, tanda dan sarana kesatuan serta persektuan Allah dengan seluruh umat manusia (bdk Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium 1).
Hal ini menjelaskan satu hal pokok dari keberadaan Gereja, yaitu bahwa Gereja ada di dunia bukan untuk dirinya sendiri, tetapi demi kepentingan seluruh umat manusia.
Rencana keselamatan dan hasrat kemanusiaan akan keselamatan berjumpa di dalam Gereja. Keduanya tidak bertentangan tetapi konvergen. Rencana serta tindakan keselamatan Allah terjadi di dunia, dalam sejarah manusia dan Gereja diutus ke dunia mengalamatkan tugas perutusannya kepada manusia dan sekaligus menjamin perwujudan atau kepenuhan keselamatan itu.
Keterlibatan Gereja dalam politik dimaksudkan untuk dua hal, pertama mendorong tercapainya kesetaraan politik di level masyarakat. Kedua, menjadi garam dan terang bagi penguasa polititis dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam rangka itu umat Katolik diajak untuk mengenali panggilan dan tanggung jawabnya di dunia yakni mengusahakan kesejahteraan umum.
Konstitusi Pastoral Gaudium Et Spes, Art. 1 menyatakan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama orang miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid Kristus juga”.
Dokumen Konsili Vatikan II ini mengingatkan Gereja akan pentingnya keterlibatan umat katolik dalam kehidupan sosial politik untuk menciptakan, mempertahankan dan memperbaiki tata aturan dalam suatu masyarakat demi kebaikan dan kemajuan bersama karena itu umat Katolik mesti melihat politik sebagai bagian dari dimensi terdalam hidupnya demi perwujudan kasih Allah. Di mana ia secara aktif dan bebas berpartisipasi dalam mewujudkan secara konkret usahanya untuk memajukan kesejahteraan umum.
Baca juga: Viva il Papa Menggema saat Paus Fransiskus Tinggalkan Gereja Katedral
Karena itulah Gereja mendukung umatnya berpartisipasi baik secara individu maupun organisasi untuk terlibat aktif dalam konteks sosial politik (bdk. Konsili Vatikan II dalam Gaudium at Spes 73). Pimpinan Gereja mengharapkan supaya tokoh masyarakat yang beragama Katolik mau berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan keahlian dan panggilan masing-masing.
Dalam hal ini mereka hendaknya dijiwai oleh semangat Injil dan memberi teladan kejujuran dan keadilan yang pantas dicontoh oleh generasi penerus. Ini adalah bentuk tanggungjawb moral dan panggilan umat Allah (awam) dalam koridor Pro Ecclesia et Patria. Hendaknya semangat kerasulan awam Katolik dibina secara baik dan mandiri melalui organisasi-organisasi warga Katolik. Perlu disadarkan tentang pentingnya pemberdayaan organisasi kader Katolik melalui ormas ini.
Awam Katolik dalam Bingkai Perwujudan Umat Katolik yang Berpartisipasi
Fokus Pastoral Keuskupan Agung Medan tahun 2024 ialah Umat Katolik yang berpartisipasi. Arah dari pastoral ini membangun kesadaran umat akan kehadirannya di tengah dunia sesuai dengan visi Keuskupan Agung Medan Oase Ilahi di tengah dunia.
Umat Katolik harus memberi kontribusi aktif dan membangun masyarakat di sekitarnya. Awam Katolik harus ikut membangun bangsa sesuai dengan spiritualitas kekatolikan yakni; kemanusiaan, keadilan dan perdamaian.
Beberapa cara Awam Katolik mewujudkan Keluarga Memasyarakat dalam konteks hidup politik, pertama yakni memperjuangkan Katolik yang partisipatoris yakni partisipasi umat Katolik dalam membangun bangsa dan Negara (bdk Gaudium et Spes 73).
Kedua, Awam Katolik memperjuangkan penegakan Hak Azasi Manusia.
Ketiga, memupuk dan mendukung usaha pemerintah dalam mewujudkan kerukunan di antara umat beragama. Katolik ikut mewujudkan misi toleransi ini.
Keempat, mendukung umat Katolik membangun bangsa sesuai dengan peran, tugas dan status masing-masing dijiwai dengan semangat injil; menjadi garam dan terang dunia.
Dan kelima, Katolik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia nmaka harus ikut aktif terlibat dalam kehidupan bernegara melalui aspek politik, sosial ekonomi dan pendidikan (bdk. Gaudium et Spes 52).
“Berikanlah apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.” (Mateus 22:21). Ini mau menegaskan bahwa orang Katolik punya panggilan moral memperbaiki bangsa ini lewat cara dan kebijakan Kristiani dan terlibat penuh dalam kancah politik.
Uskup Sugijapranoto pernah mengatakan, “Kita adalah seratus persen umat Katolik dan seratus persen warga negara Indonesia”. Seorang warga negara sama sekali tidak bisa terpisah sebagai umat beragama.
Setiap orang Katolik mesti sadar bahwa ia lebih dulu lahir dari rahim Ibu Pertiwi sebagai orang Indonesia, baru dibaptis menjadi Katolik. “Matematika iman ala Soegija” (100 +100 = 100) itu menegaskan bahwa setiap insan Katolik adalah warganegara seutuhnya, serentak warga gereja sepenuhnya. Karena itu setiap insan Katolik harus berjiwa Nasionalis dan Patriotik.
Eddy Kristiyanto, OFM seorang rohaniawan Katolik dalam tulisannya, “Sakramen Politik,” bahwa politik juga adalah “tanda dan sarana keselamatan.” Gereja Katolik harus ikut terlibat dalam politik mulai dari memberi edukasi dan menyumbang sumber daya manusia yang berintegritas dan berkualitas.
Keterlibatan ini akan menghantar umat Katolik ikut menentukan perjalanan bangsa sesuai dengan spirit empat pilar kebangsaan yaitu UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Karena itu Gereja harus terlibat dalam kehidupan bernegara (baca sosial, politik dan kemasyarakatan) dengan mengikuti proses demokrasi yang langsung, umum, bebas dan rahasia”. Umat harus menggunakan haknya karena ini adalah panggilan moral dan spiritual namun hendaklah umat tidak terjebak atau ikut dalam politik uang yang dilakukan para calon untuk mendapatkan dukungan suara.
Dan ketika memilih, lihat dan kenalilah siapa yang mau dipilih berdasarkan track recordnya : iman, moral, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Sikap kritis dalam pemilihan akan memberikan bobot dalam demokrasi yang akan dilaksanakan. Lebih jauh ditegaskan bahwa pemilu adalah suatu perangkat demokrasi dengan demikian adalah hak rakyat yang harus dilindungi. Politik adalah urusan kita bersama maka kita (umat Katolik) harus mensukseskan dan ikut berpartisipasi.
Penutup
Gereja yang berakar ialah Gereja yang mendasarkan dirinya pada Kristus. Ketika Gereja sungguh menempatkan Kristus sebagai fundasi maka Gereja itu akan bertumbuh dan berbuah.
“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur,” (Kolose 2:6-7).”
Gereja Katolik harus hadir dalam setiap elemen kehidupan umat; rohani maupun jasmani. Gereja hadir dengan misinya mensejahterakan umat baik dari sisi kebutuhan rohani pun jasmani. Untuk mencapai tujuan ini Gereja Katolik, saya yakini telah menganimasi dan memberdayakan semua perangkatnya.
Kekayaan Gereja Katolik selain banyaknya ordo/tarekat/kongregasi yang berkarya, juga dengan kehadiran komisi-komisi dan ormas yang menjadi tulang punggung melaksanakan program keuskupan. Komisi sebagai perpanjangan tangan bapa uskup secara konsisten telah melaksanakan tugas dalam bingkai visi, misi dan nilai-nilai Katolik.
Kesimpulan ringkasnya Gereja Katolik dengan visi, misi dan nilainya sedang ‘menyempurnakan’ kehadirannya dengan gerakan significan ke dalam dan relevan keluar. Ke dalam Gereja harus mengedukasi seluruh umat agar sungguh merasa satu kesatuan dengan seluruh umat lintas paroki.
Seluruh umat menyadari panggilan untuk berjalan bersama membangun Gereja lokal. Keluar, Gereja hadir melalui SDM-nya menjadi garam dan terang melalui jalur sosial, politik dan kemasyarakatan. Maka, Gereja Katolik itu menjadi berkat ke dalam dan keluar (masyarakat). Semoga