News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pemikiran Ekonomi Islam Abu Ubayd Masih Relevan dengan Konsep Ekonomi Saat Ini

Editor: Acos Abdul Qodir
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pemikiran ekonomi Islam dari pemikir Abu Ubayd masih relevan dengan konsep ekonomi saat ini

Oleh : Muhamad Haris
Mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia

Pandangan Abu Ubayd merupakan perintis awal bagi khazanah ilmu ekonomi Islam mengenai kajian kebijakan publik dan perdagangan internasional di masa awal Islam, tepatnya pada masa dinasti Abbasiyah.

Abu Ubayd yang bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi lahir di Kota Herat, Wilayah Khurasan (saat ini berada di sebelah Barat Laut Negara Afghanistan) pada tahun 157 Hijriah atau tahun 774 Masehi. Ayahnya bernama Salam yang merupakan budak Romawi yang tinggal dengan penduduk Kota Herat dan ia bekerja sebagai pembawa barang. 

Sejak kecil, orang tua Abu Ubayd selalu mengantarkannya kepada ulama-ulama yang hidup pada zamannya untuk belajar ilmu pengetahuan. Ayahnya berkata kepada seorang ulama ketika menitipkan Abu Ubayd, "Ajarilah Al-qasim, sebab dia adalah anak yang cerdas.“ 

Dalam usia yang masih kanak-kanak, Al-qasim telah dididik dan ditempa untuk menimba ilmu pengetahuan. Perjalanan keilmuan Abu Ubayd di usia 20 tahun, dilakukan dengan merantau ke berbagai kota seperti Kufah, Basrah dan Baghdad untuk menuntut berbagai ilmu seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Qira'ah, Tafsir, Hadits dan Fiqih. 

Guru-guru Abu Ubayd muda pun merupakan guru yang masyhur di bidangnya. Contohnya, untuk ilmu fikih beliau langsung berguru kepada Al-Imam Asy Syafi’i, Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Asy Syaibani (dua nama terakhir merupakan murid dari Al-Imam Abu Hanifah).

Pada tahun 192 H, Gubernur Thughur Thabit ibn Nasr ibn Malik yang memimpin pada masa Pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid mengangkat Abu Ubayd sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Kiprahnya selama menjabat qadi di Tarsus sangat luar biasa. Ia memiliki kinerja yang sangat baik, hal itu dibuktikan dengan kemampuannya dalam menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan yang cukup rumit.

Pengorbanan beliau untuk memperjuangkan ilmu pengetahuan dan sikap keulamaannya telah berhasil menuai kebaikan berupa perhatian dan pemeliharaan negara terhadap ilmu pengetahuan. Pada tahun 223 Hijriah, Abu Ubayd melakukan perjalanan haji ke Mekah dan akhirnya menetap disana. Pada tahun 224 Hijriah atau tahun 838 Masehi dia wafat dan dimakamkan di rumah Ja'far bin Abu Thalib (anak dari paman Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib).

Abu Ubayd adalah seseorang yang telah menuntut ilmu dari para ulama Kufah dan Basrah, tetapi sikapnya memiliki keunikan yaitu sikap tidak fanatik terhadap ulama Kufah dan ulama Basrah. Pandangan Abu Ubayd memajukan penguasaan pendidikan Islam yang ditegakkan secara komprehensif dan religius untuk menghadapi eksistensi manusia di dunia dan akhirat, baik secara individu maupun sosial. Buah pemikirannya dituangkan melalui karyanya yang bermacam-macam di bidang keilmuan, seperti hadits, fiqih, sastra, ekonomi dan lainnya. Karyanya berupa kitab yang paling termasyur adalah kitab al-Amwal (harta) dalam bidang fikih, yaitu kitab yang membahas mengenai pengelolan keuangan publik (Public Finance). 

Kitab Al-Amwal yang pembahasannya lebih luas, pembahasannya mayoritas membahas permasalahan administrasi Pemerintahan. Kitab ini menekankan beberapa isu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional dan memberi informasi yang sangat penting mengenai kesuksesan Pemerintah dalam meregulasikan berbagai kebijakan, seperti keberhasilan Khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz dalam membangun sistem perpajakan yang Islami serta memberi kemaslahatan sosial.

Pemikiran Abu Ubayd memberikan pengaruh dalam perkembangan ekonomi Islam.

Pertama, pengaruhnya terhadap tokoh pemikir klasik dapat dilihat pada ulama setelahnya mulai banyak yang menggunakan nama judul kitab yang sama, yaitu al-Amwal pada kitab keuangan publik, yang mana sebelumnya lebih banyak menggunakan judul al-Kharaj. Kedua, pengaruhnya terhadap tokoh ekonomi barat, yaitu bahkan Adam Smith yang merupakan tokoh Ekonomi Barat dalam karyanya The Wealth of Nation diindikasikan banyak merujuk dari pemikiran Abu Ubayd, terutama mengenai judul buku The Wealth of Nation dan Al-Amwal tersebut mempunyai kemiripan makna, yaitu harta atau kekayaan. 

Dan ketiga, pengaruhnya terhadap ekonomi saat ini yaitu tidak sedikit dari para ekonom melakukan kajian-kajian mengenai pemikiran dan konsep ekonomi dari Abu Ubayd. Salah satunya adalah mengenai tentang hukum perdagangan internasional, yaitu ekspor dan impor serta pemikiran mengenai fungsi uang.

Abu Ubayd dikenal dengan pemikiran ekonomi Islamnya.

Kesejahteraan merupakan tujuan dari ajaran Islam dalam bidang ekonomi. Kesejahteraan merupakan bagian dari rahmatan lil alamin. Kesejahteraan akan diberikan oleh Allah SWT, jika manusia melaksanakan apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa yang dilarangnya. 

Abu Ubayd dengan tegas mengungkapkan bahwa otoritas publik berkewajiban untuk menjamin jalan hidup yang baik bagi setiap orang dalam masyarakat Muslim. 

Ia memberikan perhatian yang besar terhadap keberadaan negara yang mengedepankan nilai keadilan dalam segala bentuk aktivitas kehidupan, dengan tujuan tercapainya kesejahteraan masyarakat. Pengaturan keuangan publik yang jelas memberi peran penting dalam pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat umum dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan Masyarakat.

Abu Ubayd merupakan satu diantara banyak tokoh Islam yang pemikirannya mampu menjawab tantangan ekonomi global. Selain berdasarkan kepada Alquran dan Al-hadist, konsepnya juga begitu dinamis, sehingga mampu menyesuaikan dengan setiap perubahan yang terus terjadi dari masa-masa. 

Secara garis besar pemikiran ekonomi Abu Ubayd terdiri dari lima hal utama. 

Pertama, tidak adanya nol tarif dimana Abu Ubayd sangat menekankan bahwa devisa negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk keuntungan pribadi. Selain itu, ia memiliki pandangan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan dan boleh diturunkan tarifnya jika ada yang tidak mampu membayar. Kedua, sumber penerimaan keuangan publik yang dijelaskan dalam kitab Al-Amwal, beliau dengan sangat jelas mengenai studi yang berkaitan dengan keuangan publik dengan menjadikan Rasulullah SAW dan Umar bin Khatthab RA sebagai teladan dalam mengelola keuangan negara melalui institusi cadangan devisa, yang saat itu dinamakan dengan Baitul Maal. 

Menurut Abu Ubayd, Fai’ adalah harta yang diperoleh dari non-muslim atas jizyah (pajak) yang dibayar oleh mereka melalui jalan damai untuk mendapatkan hak perlindungan dan keamanan yang dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya Kharaj, Jizyah, Khumus dan Usyr. 

Ketiga, mengenai hak atas kekayaan publik dimana Abu Ubayd menetapkan sebuah kaidah dasar yang merumuskan orang-orang yang berhak atas kekayaan publik, dimana segala jenis pemasukan yang diambil dari yang kaya diolah dan didistribusikan kepada mereka yang berhak. Beliau menekankan bahwa kekayaan publik bersumber dari dana-dana publik, maka seharusnya dialokasikan untuk kejahteraan publik seperti pendidikan, korban musibah bencana, kesehatan, atau segala hal yang menunjang kesejahteraan publik. 

Keempat, mengenai kebijakan Pemerintah tentang tanah pertanian, yaitu Abu Ubayd menjelaskan secara implisit bahwa tanah yang tandus atau tidak produktif (iqtha) diberdayakan dan dimanfaatkan oleh pemiliknya dengan pembebasan pajak, sehingga dapat meningkatkan produktifitas buah-buahan atau sayur-mayur dan sebagainya melalui regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Menurut pendapat Abu Ubayd, bahwa sumber daya umum/publik seperti, air, rumput atau lahan, dan api tidak diperbolehkan untuk dimonopoli, karena sumber daya ini seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan dan kemashlahatan rakyat. 

Kelima, mengenai fungsi uang dimana Abu Ubayd menjelaskan bahwa uang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai standard of exchange value (standar nilai pertukaran) dan medium of exchange (media pertukaran). Berdasarkan teori yang disampaikannya, bahwa emas dan perak diakui sebagai alat tukar karena memiliki nilai nominal dan intrinsik yang sama, sehingga keduanya dianggap sangat layak jika dikonversikan dengan objek lain. Maka dapat diartikan juga bahwa nilai dari emas dan perak akan berubah jika keduanya digunakan sebagian komoditas karena keduanya memainkan peran sebagai standar penilaian dari barang lainnya atau sebagai barang yang harus dinilai.

Rupanya, karya pemikiran ekonomi Abu Ubayd masih relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.

Pertama, sistem keuangan Publik di Indonesia. Abu Ubayd mendirikan landasan filosofis ekonomi berdasarkan gagasan keadilan. Filosofis ekonomi Indonesia yang hampir sama dengan konsep keadilan menurut Abu Ubayd dapat dilihat dalam isi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 4 yang menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Kedua, Pengelolaan Zakat di Indonesia. Abu Ubayd mengutarakan, dana zakat dapat serahkan kepada otoritas publik. Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, menunjukkan bahwa ada campur tangan Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam hal regulasi sebagai payung hukum pelaksanaan pengelolaan zakat. Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa “Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional).” Sehingga ada instansi terkait yang dilibatkan sebagai implementasi pemegang amanah dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut. 

Ketiga, Fungsi Uang di Indonesia. Abu  Ubayd  mengakui  adanya  2 (dua)  fungsi uang, yaitu sebagai standar nilai tukar  dan  media  tukar. Saat ini, uang terlibat dalam kegiatan ekonomi modern seperti produksi, investasi dan konsumsi, maka peran dan hubungan yang erat antara uang dan kegiatan transaksi ekonomi dapat dilihat sebagai hal yang wajar. Alat tukarnya adalah uang, uang adalah komoditas yang dapat disimpan, digunakan untuk menilai komoditas lain dan ditukar dengan komoditas lain.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini