Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Calon Pimpinan KPK 2019-2024
SUARA emas Zarof Ricar kini sedang ditunggu publik.
Maka "bernyanyilah!"
Zarof adalah bekas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA) yang ditangkap Kejaksaan Agung di Bali, Kamis (24/10/2024).
Zarof diduga menjadi makelar kasus (markus) kasasi perkara Ronald Tannur (31), terdakwa kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti (29), kekasihnya sendiri.
Pada 24 Juli 2024, Tannur divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur.
Sehari sebelum menangkap Zarof, Kejagung terlebih dulu menangkap tiga hakim PN Surabaya yang membebaskan Tannur yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul.
Sehari sebelum menangkap tiga hakim nakal itu, MA membacakan putusan kasasi yang menghukum Tannur lima tahun penjara.
Perkara kasasi Tannur yang teregistrasi dengan nomor 1466/K/Pid/2024 diperiksa dan diadili oleh ketua majelis kasasi Soesilo dengan hakim anggota Ainal Mardhiah dan Sutarjo, serta Panitera Pengganti Yustisiana.
Saat melakukan penggeledahan di rumah Zarof di Senayan, Jakarta, Kejagung menemukan uang tunai Rp920 miliar dan emas batangan 51 kilogram yang merupakan hasil 10 tahun Zarof menjadi markus di MA.
Adapun dari tangan tiga hakim PN Surabaya itu, plus Lisa Rachmat pengacara Tannur, Kejagung menyita uang tunai Rp20 miliar.
Lisa menugaskan Zarof melobi hakim kasasi MA dengan imbalan Rp1 miliar. Adapun suap untuk hakim kasasi MA telah disiapkan uang Rp5 miliar.
Kejagung membuka peluang memeriksa majelis hakim kasasi Tannur. Begitu pun MA yang telah membentuk tim pemeriksa.
Jika diandaikan rata-rata imbalan yang diterima Zarof untuk satu perkara Rp1 miliar, maka uang Rp920 miliar yang dimiliki Zarof ekuivalen dengan 920 perkara. Itu belum termasuk emas batangan 51 kilo.
Jika satu perkara kasasi ditangani oleh majelis hakim yang terdiri atas 3 orang, maka ada 2.760 hakim agung yang patut diduga terlibat mafia peradilan bersama Zarof.
Jika satu perkara bertarif Rp5 miliar, maka ada Rp4,6 triliun yang mengalir ke majelis hakim kasasi. Itu baru dari seorang Zarof, belum dari markus lainnya.
Maka, sekali lagi, "bernyanyi"-lah Zarof. Jangan mau kedinginan di penjara seorang diri. Juga demi membersihkan MA dari oknum-oknum nakal.
Jika Zarof "bernyanyi" atau buka suara, maka sedikitnya 2.760 hakim agung atau mantan hakim agung akan ketar-ketir. Kini pun mereka pasti sedang dag dig dug der jantungnya.
Juga 920 Panitera Pengganti atau mantan Panitera Pengganti. Apalagi Zarof mengaku sudah berkomunikasi dengan salah satu hakim kasasi Tannur berinisial S meskipun konon uang Rp5 miliar itu belum diserahkan.
Plus, MA menghukum anak bekas anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Edward Tannur itu dengan 5 tahun penjara, jauh dari tuntutan 14 tahun penjara di PN Surabaya, dan lebih rendah 2 tahun penjara dari ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara sebagaimana dimaksud Pasal 351 ayat (3) KUHP.
Jadikan Wistleblower atau Justice Collaborator
Agar Zarof mau "bernyanyi", maka Kejagung perlu menjadikan pria kelahiran Sumenep, Jawa Timur, 16 Januari 1962 itu sebagai "wistleblower" atau "justice collaborator" yang tuntutan hukum kepadanya akan diringankan.
Sebaliknya jika tak mau jadi wistleblower atau justice collaborator, maka tuntutan kepadanya akan diperberat 1/3-nya karena Zarof merupakan penegak hukum.
Tidak hanya Zarof, dua bekas Sekretaris MA yang terlibat markus, yakni Nurhadi Abdurrachman dan Hasbi Hasan juga perlu dijadikan wistleblower atau justice collaborator dengan imbalan ekstra remisi atau grasi.
Pun, dua hakim agung yang terlibat korupsi yakni Dimyati Sudradjad dan Gazalba Saleh.
Kejagung juga perlu menelisik perkara-perkara lain yang pernah dimakelari Zarof, bukan hanya perkara Tannur. Ada 919 perkara lain yang mungkin dimakelari Zarof.
Dari sanalah dimulai bersih-bersih MA yang kini citranya di mata publik sudah ambruk ke titik nadir.
MA sudah tak agung lagi!'