Sementara Tiongkok terus berinovasi dan meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya, Indonesia justru menghadapi masalah fundamental berupa ketimpangan pendidikan dan infrastruktur yang tidak merata.
Ekonom Prancis, Thomas Piketty, dalam bukunya Capital in the Twenty-First Century menjelaskan bahwa salah satu faktor kunci keberhasilan
Tiongkok adalah bagaimana negara tersebut mengontrol konsentrasi kekayaan dengan ketat melalui kebijakan redistribusi, sesuatu yang gagal dilakukan Indonesia. Piketty menegaskan bahwa "kebijakan redistribusi yang adil dan menyeluruh diperlukan untuk mencegah ketimpangan yang membahayakan stabilitas sosial."
Hilirisasi telah menjadi jargon favorit pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pada dasarnya, hilirisasi bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dari produk mentah dengan mengolahnya di dalam negeri sebelum diekspor.
Saat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, berkali-kali menekankan bahwa hilirisasi adalah solusi bagi Indonesia untuk lepas dari ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah, terutama nikel, tembaga, dan bauksit.
Namun, seiring dengan optimisme tersebut, kita harus bertanya: apakah hilirisasi ini akan membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas, atau hanya akan memperkuat posisi oligarki yang sudah mapan?
Banyak ekonom mengkhawatirkan bahwa tanpa adanya reformasi ekonomi yang mendasar, hilirisasi justru akan menciptakan "hilirisasi elit," di mana nilai tambah dari bahan mentah tetap dinikmati oleh segelintir pemilik modal besar, bukan oleh masyarakat.
Ekonom seniot Emil Salim mengkritisi kebijakan hilirisasi yang tidak dibarengi dengan reformasi struktural.
Dalam wawancara dengan The Jakarta Post, ia menekankan, “Hilirisasi harus berjalan seiring dengan reformasi ekonomi yang lebih luas, yang mencakup redistribusi sumber daya dan peningkatan daya saing tenaga kerja lokal."
"Tanpa ini, hilirisasi hanya akan menjadi alat bagi oligarki untuk memperkuat cengkeraman mereka terhadap ekonomi nasional.”
Menghadapi kenyataan ini, Indonesia perlu segera melakukan langkah konkret untuk melakukan reformasi ekonomi yang mendalam, sebelum hilirisasi atau kebijakan lain di bidang ekonomi dapat benar-benar memberikan dampak positif yang merata.
Redistribusi tanah harus menjadi prioritas utama dalam reformasi ekonomi Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh John Stuart Mill dalam bukunya Principles of Political Economy, "kepemilikan tanah yang terdistribusi dengan adil adalah prasyarat bagi kemakmuran dan stabilitas sosial."
Di Indonesia, reforma agraria perlu dipercepat dan diperluas, dengan memberikan akses yang lebih adil kepada petani kecil dan masyarakat adat.
Tidak ada reformasi ekonomi yang berhasil tanpa adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Indonesia harus berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan untuk memastikan bahwa tenaga kerjanya mampu bersaing di pasar global.