Oleh: Dr. Guntur Saragih
Dosen FEB UPN Veteran Jakarta
TRIBUNNEWS.COM - Industri otomotif di Indonesia tergolong stagnan. Daya tarik pasar domestik, insentif pemerintah, infrastruktur industri yang sudah lama terbangun, tidak serta merta membuat Indonesia menjadi pemain utama dalam kancah persaingan global.
Industri ini dianggap masih belum dapat menjangkau keseluruhan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat Tak Mampu atau Pasar yang Dihambat
Jika dilihat kondisi makro Indonesia dan negara ASEAN lainnya, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan.
Seluruhnya mengalami dampak besar Covid-19. Indonesia bahkan tergolong negara yang mampu recover lebih baik pasca Covid-19.
Karenanya, muncul dugaan apakah market kita yang ada distorsi, sehingga pasar tidak kompetitif.
Hal ini dapat terjadi dalam pasar yang melakukan praktek RPM (Resale Price Maintanance) sehingga membuat peluang masyarakat mendapatkan harga lebih murah hilang.
Kemungkinan kedua adalah terjadi pembatasan variasi pendistribusian produk mobil melalui perjanjian pembatasan agar para dealer tidak beroperasi lebih luas untuk produk prinsipal lainnya.
Ini membuat distribusi hanya berada di wilayah kota besar, sekaligus merugikan peluang konsumen menjangkau dan mendapatkan harga kompetitif dan produk yang variatif.
Persoalan Internal Pelaku Prinsipal
Industri otomotif merupakan hal yang sangat kompleks. Ada begitu banyak pelaku usaha, mulai dari Original Equipment Manufacturing, supplaier, sampai rantai distribusi.
Hubungan kemitraan yang sehat dan setara akan membuat semua pihak dalam industri lebih kompetitif.
Namun praktiknya, posisi dominan terletak pada perusahaan manufaktur dibandingkan pihak mitra.
Perlakuan hukum yang adil menjadi syarat dalam menciptakan industri yang sehat.
Hal inilah patut memperoleh perhatian dari pemerintah, stakeholder terkait, dan pemilik merek maupun dealer.
Posisi dominan prinsipal mampu mendikte seluruh sub-kontrak dalam market domestiknya. Kekuatan ini dilakukan melalui perjanjian antara prinsipal dengan para dealer.
Meskipun dikenal sebagai hal yang mungkin terjadi, tetapi kebijakan eksklusif berpotensi menyebabkan distrosi pasar. Terutama jika prinsipal membatasi ruang gerak investor melalui perjanjian sepihak.
Potensi Pelanggaran
Perilaku-perilaku ini berpotensi melanggar norma persaingan usaha sehat. Melalui perjanjian dimungkinkan terjadi pembatasan oleh prinsipal terhadap mitra-mitranya.
Posisi dominan prinsipal memiliki potensi untuk melakukan praktik abuse.
Kepentingan melawan persaingan dengan kompetitornya melalui pembatasan produk pesaing dapat diwujudkan melalui para mitra-mitra sub, salah satunya dealer, unit bisnis independen yang menjadi salah satu faktor kunci mewujudkan pasar yang kompetitif.
Potensi lain yang membuat industri ini tidak kompetitif adalah perilaku membatasi lewat perjanjian eksklusif (perjanjian tertutup) yang seharusnya melindungi aspek kekayaan intangible prinsipal seperti merek, lisensi, copyright, serta rahasia bisnis agar tidak disalahgunakan.
Namun, perjanjian eksklusif tidaklah tepat jika dilakukan untuk merampas kebebasan berkehendak para dealer dalam mengembangkan bisnis.
Larangan kebebasan juga terwujud dalam larangan bagi investor dealer untuk mendirikan badan usaha baru terkait dengan pesaing prinsipal.
Ini membuat dealer yang memiliki kebutuhan kepada prinsipal terpaksa menandatangani perjanjian yang memberatkan dan merugikan.
Cara-cara menghambat prinsipal merek tertentu lewat pengikatan para dealer secara eksklusif, membuat persaingan tidak sehat dan menutup peluang usaha investor dealer yang ingin mendirikan badan usaha baru dengan menjual merek yang berbeda.
Larangan terkait perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 UU No. 5/1999, yang memastikan bahwa masih ada kebebasan berkehendak bagi para pihak yang mengikatkan diri.
Antar pihak yang mengikatkan diri masih diberi ruang memutuskan kepada siapa barang akan dipasok kembali.
Antar pihak juga dilindungi kebebasan untuk menolak dari paksaan membeli barang tertentu yang dianggap bukan sebagai keputusan bisnis yang menguntungkan.
Sementara larangan pembatasan kebebasan pelaku usaha sebenarnya sudah termuat dalam Pasal 19 UU No. 5/1999.
Seharusnya ketentuan ini dipatuhi oleh seluruh pelaku usaha termasuk prinsipal merek.
Urgensi Penegakan Hukum Persaingan Usaha
UU No. 5/1999 mengusung prinsip persaingan yang sehat dan adil, melarang dengan tegas penindasan pelaku usaha kepada pihak lainnya.
Namun pengimplementasiannya belum optimal, padahal undang-undang ini menjadi payung hukum untuk melindungi para investor dalam persaingan yang setara.
Jika perjanjian tersebut mencegah, membatasi, atau mendistorsi persaingan dalam pembatasan investasi dan pangsa pasar, maka perjanjian seharusnya dapat dibatalkan.
Pada prinsipnya UU No. 5/1999 memberikan perlindungan bagi pelaku usaha sub-kontrak dari prinsipilnya sehingga Lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus melakukan pengawasan yang lebih intensif.
Hal ini dikarenakan pelanggaran dilakukan antara prinsipal yang dominan dengan sub-kontrak yang relatif lebih lemah.
Pengukuran dampak haruslah dilihat dalam Pasar Relevan, hubungan internal market prinsipal dengan sub-kontraknya, bukan market yang lebih luas (broad) dalam industry, karena dalam hubungan keperdataan para dealer sangat bergantung sehingga market switching sulit dilakukan.
Penegakan hukum persaingan usaha semakin menantang, karena posisi bergantung membuat para sub-kontrak tidak berani melaporkan pelanggaran.
Maka, dibutuhkan inisiatif dan kemampuan lembaga otoritas persaingan usaha untuk menginvestigasi dan menemukan pelanggaran, sehingga iklim persaingan usaha sehat dapat terwujud.
Otoritas pengawas persaingan usaha bertanggung jawab atas terwujudnya pasar otomotif yang kompetitif.
Melalui penegakan hukum persaingan usaha di dalam industri otomotif akan diperoleh daya saing yang lebih baik.
Kita hanya bisa berharap pada industri yang menjalankan persaingan usaha yang sehat untuk mendapatkan industri yang sehat.
Persaingan usaha sehat akan menjadi daya tarik bagi para investor.
Ruang potensi di industri ini masih begitu luas, sehingga perlu usaha keras seluruh stakeholder.
Pada dasarnya mayoritas pelaku usaha di pasar otomotif pro dengan persaingan usaha sehat. Jangan sampai hanya karena tindakan segelintir pelaku usaha yang nakal berdampak pada kemunduran industri ini.