Jika dianalogikan sebagai sebuah organisasi bisnis, Shin Tae-yong telah menjalankan timnas di level startup.
Level startup yang memungkinkan melakukan berbagai inovasi dan eksperimen.
Namun ketika organisasi telah growth dan menjadi mature, maka yang dibutuhkan sistem yang lebih mekanistik bukan lagi organik.
Saat perusahaan menjadi besar maka bukan saatnya lagi bereksperimen untuk mengeksplorasi peluang, melainkan sistem jelas untuk mengeksploitasi hasil.
Analogi yang sama berlaku juga di sepak bola. Kesebelasan kecil fokus bereksperimen soal taktik dan formasi adalah suatu yang wajar.
Sebaliknya kesebelasan mapan sudah punya formasi dan taktik yang jelas. Bukan lagi coba-coba di tiap pekan.
Dengan kenyataan timnas sudah menjajaki level yang lebih tinggi, maka konsistensi pada pondasi sistem permainan menjadi hal yang vital.
Penunjukan Patrick Kluivert memang tak lantas menjamin terjawabnya persoalan timnas sepeninggal Shin Tae Yong.
Namun pengalaman Kluivert menjadi asisten pelatih yang punya filosofi kuat seperti Louis Van Gaal menjadi bekal berharga.
Sebab kini yang dibutuhkan timnas Indonesia adalah empat hal: stabilitas, taktik, komposisi, hingga kejelasan filosofi.
Layaknya teori strategi bahwa hasil yang baik akan selalu bermula dari input dan proses yang baik. Sehingga input, proses, plus output itulah yang menjadi satu kesatuan sistem strategi yang utuh dan konsisten.
Dan inilah PR selama era Shin Tae-yong yang mana timnas tak memiliki sistem strategi yang jelas dan konsisten. Meski diakui Shin telah menjejakkan kesan positif yang baik. Komitmennya pada timnas pun mesti diakui.
Mengutip perkataan aktor Hollywood Denzel Washington bahwa yang dibutuhkan untuk mencapai hasil bukan sekadar komitmen tapi konsistensi.
"Without commitment you never start but without consistency you'll never finish.”