Perlahan-lahan, ia mulai menemukan jalan terang perekonomiannya.
Sutrisno memberanikan diri mendirikan usaha ukir kayu di rumahnya di Jalan Pemuda gang Yakub nomor 6.
Dimulai dari bekerja seorang diri, lambat laun, Sutrisno mencari tenaga kerja.
Kini, sudah ada 18 orang setiap hari membantunya. Jumlah itu bisa lebih besar ketika pesanan banyak.
“Saya tertarik menekuni kerajinan dari kayu Jati karena di sini (Bojonegoro) bahan bakunya. Orang lain cenderung memanfaatkan kayu itu untuk membuat meja, padahal bahan baku kayu bentuknya sudah bagus, tinggal diberi sentuhan untuk menjadi patung,” tutur Sutrisno.
Patung ukiran karya pemilik Sanggar Fiesta selalu menggunakan bahan baku kayu Jati utuh yang berumur ratusan tahun.
Kayu tersebut dibeli dari pihak Perhutani. Sekarang, sebagian besar karyanya dibeli oleh kalangan pengusaha dan pejabat.
Rata-rata, mereka yang pesen patung untuk ornamen gereja di luar Jawa, antara lain Medan, Manado, Makassar, dan Nusa Tenggara Timur. Namun, tak sedikit pula yang digunakan untuk pajangan di rumah.
“Kalau pejabat biasanya dipakai di rumahnya sendiri. Mereka minta harga mahal, tentunya kualitasnya bagus. Kalau tidak mahal tidak mau,” ujar Sutrisno.
Selama ini, kerajinan yang diproduksi Sutrisno ada beberapa macam, antara lain, altar, podium, patung Jesus, Bunda Maria, wayangan, kaligrafi, ukiran mebel, relief pedesaan, jaka tarub, walisongo, relief pedesaan, Ramayana.
“Saya juga membuat relief trail pesanan mantan kasat lantas Bojonegoro, sekarang orangnya bertugas di Surabaya,” ujarnya sembari mengungkapkan ciri khas ukirannya natural.
Rata-rata harga karya yang dipatok Sutrisno seharga Rp 2,5 juta hingga puluhan juta.
Mahal tidaknya harga tergantung ukuran dan kesulitan ukiran patung maupun relief. Semakin besar dan sulit, maka harganya semakin mahal.
Menurutnya, meski ekonomi masih dalam keadaan sulit seperti sekarang ini, pesanan patung dan relief masih stabil.