Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Penggunaan Biodiesel Belum Optimal

Dari target sebesar 4,6 juta kiloliter penggunaan biodiesel B10, hingga semester I tahun ini, hanya terealisasi tidak sampai separuhnya.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Fajar Anjungroso
zoom-in Penggunaan Biodiesel Belum Optimal
http://web.cals.uidaho.edu/
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Program biodiesel yang digadang-gadang sebagai alternatif solusi mencegah jebolnya BBM subsidi, dinilai  pengamat energi, Iwa Garniwa ternyata tidak dijalankan secara serius oleh pemerintah.

Dari target sebesar 4,6 juta kiloliter penggunaan biodiesel B10, hingga semester I tahun ini, hanya terealisasi tidak sampai separuhnya.

“Ini menjadi pertanyaan besar terhadap keseriusan pemerintah akan penggunaan biodiesel,” ujar Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa di Jakarta saat dihubungi wartawan pada Senin (11/8/2014).

Jika saja pemerintah serius menjalankan B10 ini akan menghemat keuangan negara hingga US$3 miliar per tahun. Apalagi jika dilakukan percepatan dari B10 menjadi B20, dapat menghemat anggaran subsidi setidaknya US$6 miliar.

“Itu dengan perhitungan jika menggunakan 30-40 persen biodiesel dari total anggaran BBM bersubsidi,” katanya.

Seperti diketahui, selain pembatasan pembelian solar bersubsidi, upaya lain mengurangi konsumsi BBM bersubsidi dengan menggelar program pengembangan energi alternatif berupa biodiesel, bahan bakar nabati (BBN) yang dicampurkan ke BBM .

Saat ini, pencampuran BBM sebesar 10 persen  atau dikenal B10 yang dimulai sejak September 2013 hingga akhir 2015. Sedangkan pada awal 2016 akan diterapkan pencampuran biodiesel sebesar 20% (B20).

Berita Rekomendasi

Iwa melihat ketidakseriusan pemerintah ini  merupakan bukti tidak adanya sense of crisis terhadap ketersediaan BBM khususnya BBM bersubsidi.

Dikatakannya, besaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk sektor energi terus menggerogoti APBN. Ini bisa dilihat dari APBN-P 2014 yang menetapkan subsidi energi sebesar Rp 350,31 triliun atau membengkak 24 persen dibandingkan APBN 2014 yang sebesar Rp 282,1 triliun.

Belum lagi defisit neraca pembayaran Indonesia yang terus terjadi sejak tahun 2012. Salah satu penyebabnya adalah masih tingginya impor bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai 500 ribu barel per hari.

"BBM impor ini untuk mencukupi konsumsi BBM di Indonesia yang mencapai 1,5 juta barel per hari. Kondisi ini akan menghentikan pertumbuhan ekonomi yang ujung-ujungnya akan menghambat proses pembangunan di Indonesia," katanya.

Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) menyatakan  pelaksanaan B10 patut dipertanyakan, apakah pemerintah serius atau tidak. "Kalau memang serius, kenapa subsidi BBM tidak menunjukkan penurunan,” ujarnya.

Sejak lama DEN telah mengusulkan pada pemerintah soal BBN sebagai energi alternatif. Komoditas sawit yang melimpah di Indonesia bisa dijadikan solusi yang tepat dan mengurangi ketergantungan impor BBM Indonesia. Ini sangat bagus akan mengurangi impor BBM. Setidaknya devisa kita tidak tersedot keluar.

"Pemerintah harus melibatkan semua stakeholders yang terlibat dalam kebijakan BBN ini, seperti Kementerian Perhubungan dan Perindustrian, asosiasi industri otomotif, PLN serta asosiasi penghasil CPO," katanya.

Setelah stakeholders siap, baru pemerintah memastikan kesiapan pelaku industrinya melalui sebuah regulasi. Ini harus benar-benar siap, bukan lagi uji coba.

Tags:
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas