JK: Penjualan Bank Mutiara Bagian dari Risiko Bisnis
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kerugian Bank Mutiara akan semakin besar jika tidak segera dijual.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kerugian Bank Mutiara akan semakin besar jika tidak segera dijual. Oleh karena itu pemerintah merelakan eks Bank Century itu untuk dilepas walau dengan harga yang merugikan.
Menurut dia, jika bank tersebut dilepas di bawah angka Rp 8 triliun maka sudah tentu pemerintah akan merugi. Namun hal itu merupakan jalan yang terbaik. "Memang disitu ada kerugian negara, namun juga karena ini bisnis, tentu ada risiko," kata pria yang akrab disapa JK, kepada wartawan di kantor Wakil Presiden RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2014).
Sementara itu, lembaga yang lolos fit and proper test pembelian Bank Mutiara oleh LPS adalah perusahaan investasi asal Jepang, J Trust Co, Ltd. Namun hingga kini LPS belum membocorkan harga jual bank tersebut, dan kapan penjualannya akan dilakukan.
Total talangan pemerintah untuk Bank Mutiara senilai Rp 7,94 triliun. Pada akhir 2008 pemerintah mengucurkan Rp 6,7 triliun dan masih sengketa hingga kini, dan terakhir pada tahun 2013 silam sebesar Rp 1,24 triliun.
Bank tersebut sempat bermasalah pada 2008 lalu saat bank tersebut masih bernama Bank Century. Pemiliknya Robert Tantular pun ikut dijebloskan ke penjara. Setelahnya pemerintah mengeluarkan dana talangan Rp 6,7 triliun, dan dana talangan itu pun kembali menyeret sejumlah nama, termasuk mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya. Hingga kini kasusnya masih ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut JK, penjualan Bank Mutiara sudah sesuai Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mengatur penjualan Bank Mutiara. Kasus hukum terkait dana talangan Rp 6,7 triliun seharusnya tidak menghambat penjualan bank tersebut.
Dengan kasus itu ia memaklumi bila J Trust meminta sejumlah syarat dalam pembelian. JK mengaku belum tahu detail syarat-syarat tersebut, namun kata dia hal itu adalah sesuatu yang wajar. "Itu wajar saja, di mana-mana orang negosiasi tentu ada pra kondisi," tuturnya.