Pembangkit Listrik, Peluang Bisnis Menggiurkan Buat Bukit Asam Tbk
"Setiap tahun, permintaan batubara bakal meningkat seiring rencana pemerintah meningkatkan electrification ratio jadi 97% pada 2019."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pembangkit listrik bakal menjadi masa depan para produsen batubara. Hal ini terkait rencana pemerintah meningkatkan kapasitas listrik di dalam negeri. Langkah pemerintah ini akan menguntungkan emiten batubara, termasuk PT Bukit Asam Tbk.
"Setiap tahun, permintaan batubara bakal meningkat seiring rencana pemerintah meningkatkan electrification ratio jadi 97% pada 2019," jelas analis Phillip Securities Destya Faishal, Rabu (20/4).
PTBA juga bisa lebih memaksimalkan peluang ini. Sebab, PTBA telah memiliki dua pembangkit listrik untuk penggunaan internal.
Selama ini sisa penggunaannya dijual ke PLN. Harga jual listriknya sebesar Rp 785 per kwh.
Tahun ini PTBA diprediksi akan mencatat pendapatan dari bisnis pembangkit Rp 529 miliar. Angka ini naik lebih dari dua kali lipat dibanding realisasi pendapatan setahun sebelumnya. Kenaikan pendapatan ini juga didorong oleh beroperasinya pembangkit listrik Banjarsari pada semester II-2015 lalu.
PTBA juga tengah mengerjakan proyek pembangkit listrik Bangko Tengah. Pembangkit listrik yang terletak di Sumatra Selatan ini memiliki kapasitas 2x620 MW. Pembangkit ini diperkirakan akan beroperasi pada 2019 atau 2020.
"Jadi kontribusi pendapatan dari pembangkit listrik nanti diprediksi bisa mencapai 10% jika semua pembangkit listrik milik PTBA beroperasi," ujar Destya.
PLN adalah konsumen utama PTBA. PT Indonesia Power menjadi konsumen terbesar kedua setelah PLN.
Analis KDB Daewoo Securities Mimi Halimin bilang, dua konsumen yang saling terkait di dunia kelistrikan ini sangat menguntungkan PTBA.
Permintaan dari keduanya tidak akan pernah habis selama permintaan listrik terus ada.
Bukan hanya pembangkit listrik, batubara yang diproduksi PTBA juga dijual untuk menghasilkan listrik. Jadi, jika digabungkan antara pendapatan dari pembangkit listrik dan penjualan batubara maka 26,6% pendapatan PTBA tahun lalu berasal dari PLN.
Permintaan dari Indonesia Power berkontribusi 15,5%. "Pendapatan dari PLN relatif stabil karena panjangnya kontrak," tandas Mimi.
Sejatinya, pemain lain seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO) juga mulai melirik bisnis pembangkit listrik.
Tapi masih ada alasan lain yang membuat pesona PTBA tak pernah habis jika berbicara soal pembangkit listrik. Ini karena posisi PTBA yang merupakan perusahaan pelat merah.
Secara tidak langsung, kondisi ini membuat fundamental keuangan PTBA sangat kuat. Apalagi, bisnis pembangkit listrik butuh investasi besar.
Jika melihat hal ini, analis Minna Padi Investama Christian Saortua lebih menyukai PTBA ketimbang ADRO.
Christian menambahkan, investasi bisnis pembangkit listrik memang mahal. Tapi, margin bisnis ini besar. Christian bilang, setidaknya emiten memperoleh margin 20%.
Cuma, break event point (BEP) bisnis pembangkit terhitung lama, minimal delapan hingga sembilan tahun.
Tapi, hal ini bisa dikompensasi jika emiten memiliki sumber daya batubara yang bisa disinergikan dengan bisnis pembangkit listrik.
Lagipula, sebagian duit yang digunakan untuk investasi pembangkit listrik merupakan pengalihan dari biaya eksplorasi tambang.
"Memang mahal, tapi sekalinya dapat kontrak tinggal duduk-duduk terima duit," tutur Christian.
Destya merekomendasikan buy PTBA dengan target harga Rp 9.600 per saham, yang mencerminkan price to earning ratio (PER) 5,5 kali.
Analis Bahana Securities Arandi Arianta dan analis Trimegah Securities Kevie Aditya juga kompak merekomendasikan buy dengan target harga masing-masing Rp 7.800 dan Rp 9.600 per saham.
Reporter: Dityasa H Fordda