Kadin Minta Pemerintah Dukung Industri Sawit Nasional
Pemerintah harus lebih terbuka dan melibatkan dunia usaha terkait berbagai kebijakan industri strategis seperti sawit.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah harus lebih terbuka dan melibatkan dunia usaha terkait berbagai kebijakan industri strategis seperti sawit.
Ketua Kadin Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, kebijakan yang tiba-tiba tanpa melibatkan dunia usaha bisa berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia.
"Apalagi, Indonesia merupakan pemain utama sawit dunia yang mampu menyerap tenaga kerja di dalam negeri dalam jumlah besar,” kata Ketua Kadin Rosan Perkasa Roeslan pada Seminar Tata Ruang Nasional Bidang Agribisnis, Pangan dan Kehutanan,di Menara Kadin, di Jakarta, Jumat (29/4/2016).
Rosan mengharapkan, pemerintah harus memberi dukungan penuh bagi industri kelapa sawit yang terus menerus mengalami banyak tekanan dari luar mulai dari pengenaan pajak ekspor CPO hingga pembatasan lahan.
Dunia usaha memahami perlunya keseimbangan dalam tiga pilar yakni people (masyarakat), Prosperity (kesejahteraan) dan planet (bumi).
"Untuk mencapai keseimbangan itu perlu komunikasi yang baik. Karena itu, lebih baik pemerintah dan dunia usaha usaha gontok-gontokan di dalam tetapi bisa keluar dengan satu suara, daripada membiarkan dunia usaha kebingungan dengan berbagai kebijakan yang terkesan tiba-tiba,” kata dia.
Rosan juga mengingatkan, ektensifikasi berupa perluasan lahan perkebunan sawit masih dibutuhkan. Saat ini, luasan lahan sawit masih terbilang kecil hanya sekitar 5 persen dari luas hutan.
Ekstensifikasi itu masih diperlukan karena sawit menjadi tumpuan perekonomian nasional.“Dengan luasan lahan sekitar 11 juta hektar, industri sawit mampu menyerap tenaga kerja hingga 20 juta.
"Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendorong industri yang mendukung penciptaan lapangan pekerjaan,” kata Rosan.
Ketua Komite Tetap Perkebunan Kadin, Rudyan Kopot mengatakan, intensifikasi perkebunan sawit yang diusulkan pemerintah hanyalah salah satu program untuk meningkatkan produksi melalu peremajaan (replanting).
Sementara itu, ekstensifikasi merupakan cara lain yang harus tetap dilakukan agar Indonesia bisa mencapai mandiri pangan.
Rudyan berpendapat, peningkatan produktivitas petani sawit juga perlu penyelesaian tata ruang bahkan pemutihan bagi para petani. Hal ini merupakan hambatan utama dalam pelaksanaan intensifikasi karena tata ruang yang belum selesai dan pihak perbankan tidak dapat mengakses pembiayaan terhadap petani.
Data FAO mengungkapkan, bahwa luas daratan yang dipergunakan untuk pertanian di Indonesia hanya 53 juta.
Luasan tersebut sudah termasuk 22 juta hektar areal perkebunan untuk berbagai komoditas.
“Dengan tingkat produksi dan teknologi serta infrastruktur yang ada saat ini, luasan itu jelas sangat tidak memadai untuk Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar,” kata Rudyan.
Dia membandingkan areal pertanian di Amerika Serikat mencapai 409 juta hektare atau 45 persen dari luas daratan yang mencapai 914 hektar dengan penduduk 317 juta.
Sementara itu, di Brasil, total areal pertanian seluas 275 juta hektar atau 33 persen dari luasan daratan yang mencapai 845 dengan jumlah penduduk mencapai 198 juta.
“Bandingkan dengan total pertanian di Indonesia yang hanya 56 juta atau 30 persen dari toal daratan seluas 181 juta hektare dengan penduduk 246 juta yang akan meningkat hingga 315 juta dalam beberapa tahun ke depan,” kata Rudyan.
Karena itu, kata Rudyan, ektensifikasi dan intensifikasi mutlak dilakukan.
“Ekstensifikasi memerlukan tambahan areal yang berasal dari kawasan hutan yang terdegradasi,” kata dia.