Kemitraan Trans-Pasifik dan Pengaruhnya untuk Industri Otomotif Nasional
Presiden Institut Otomotif Indonesia mengatakan, paling penting dari skema kerja sama TPP adalah keuntungan dan kerugian yang bisa diperoleh
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Indonesia berniat ikut serta dalam kesepakatan kerjasama perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership (TPP).
Menurut Jokowi, Indonesia merupakan negara dengan perekonomian terbuka dan terbesar di Asia Tenggara.
Lantas, jika dilihat dari sektor industri otomotif, apakah kerjasama TPP ini bisa menjadi peluang atau justru ancaman? Karena impor kendaraan menjadi lebih mudah dan murah.
Sekjen Kementerian Perindustrian, Syarif Hidayat, menjelaskan, dalam beberapa tahun ke depan, anggap saja Indonesia akan bertempur dengan negara-negara raksasa.
Tetapi, jangan pesimis, karena ini justru menjadi peluang untuk membuat Indonesia khususnya industri otomotif berkembang.
"Semua kerjasama atau kebijakan pasti ada plus dan minus. Agar bisa bertahan dan bersaing, sebelum kita masuk, maka kita perlu tahu apa kelemahan kita dan segera diperbaiki," ujar Syarif dalam acara Focus Group Discussion (FGD) oleh Forwin, di Kemenperin, Rabu (1/6/2016).
I Made Dana Tangkas, Presiden Institut Otomotif Indonesia (IOI), mengatakan, paling penting dari skema kerja sama TPP adalah keuntungan dan kerugian yang bisa diperoleh bangsa Indonesia.
"IOI mendukung upaya pemerintah untuk mengkaji secara mendalam dampak dari keterlibatan Indonesia dalam TPP. Sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, asosiasi, dan akademia akan memperkuat industri yang berdaya saing, berteknologi tinggi seperti otomotif agar dapat memperoleh keuntungan dari TPP," kata Made dalam kesempatan terpisah.
Potensi
I Gusti Putu Suryawirawan, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, menurutnya, potensi Indonesia khususnya di sektor otomotif cukup besar. Bahkan, di ASEAN saja, daya beli masyarakat terhadap kendaraan lebih tinggi.
"Sebenarnya ini menjadi peluang bagi kita, bukan ancaman. Sekarang ini tinggal bagaimana kita memperbaiki apa kesalahan atau kekurangan yang kita punya," kata Putu di tempat sama.
Namun, sebelum Indonesia bergabung dengan TPP, lanjut Putu, ada beberapa hal yang harus dipelajari bersama. Nantinya, bukan hanya memberikan kesempatan negara lain menjual mobilnya, tetapi harus juga melakukan investasi di Indonesia.
"Jadi nanti bukan harga mobil merek Amerika di Indonesia menjadi lebih murah, tetapi kita harus tekankan juga mereka berinvestasi. Banyak hal yang harus kita perbaiki termasuk Sumber Daya Manusia (SDM), agar bisa menciptakan lapangan kerja yang besar dan membuat peluang warga luar mendominasi di Indonesia," ujar Putu.
Perjanjian perdangan TPP ini sekaran sudah diikuti oleh 12 negara. Sejauh ini, Indonesia bukan merupakan salah satunya. Berikut negara yang sudah bergabung dalam TPP:
Amerika Serikat (AS), Australia, Brunei Darussalam, Chile, Jepang, Kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam.(Aditya Maulana/Kompas.com)