Ketahuan Melanggar, Situs GrabCar dan Uber Bakal Diblokir
"Kalau sampai dicabut izin operasinya karena melanggar, maka akan kita blok situsnya."
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah memutuskan memberi waktu tambahan bagi pengemudi GrabCar dan Uber yang belum memenuhi persyaratan. Hal tersebut sebagai bentuk aturan yang wajib ditaati jika ingin beroperasi.
Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara menegaskan jika ketahuan melanggar dan belum memenuhi persyaratan, baik situs GrabCar ataupun Uber akan diblokir oleh pemerintah. Namun sanksi tersebut akan diberikan secara bertahap.
"Kalau sampai dicabut izin operasinya karena melanggar, maka akan kita blok situsnya," ujar Rudiantara di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Pada pelaksanaannya, semua pengemudi GrabCar dan Uber. Ke depannya pihak Dinas Perhubungan dan Polantas akan memeriksa secara rutin bagi para supir yang menggunakan aplikasi online tersebut.
"Kalau ada, angkutan yang tidak ber KIR dan tertangkap oleh Dishub dan Polantas, kita telusuri. Ada mekanisme peringatan," ungkap Rudiantara.
Rudiantara mengingatkan kepada GrabCar dan Uber untuk bisa mematuhi peraturan yang diberikan pemerintah. Karena pemerintah pun, kata Rudiantara sudah memberikan kesempatan mereka untuk bisa beroperasi.
"Kita berikan ruang, tapi juga harus disiplin," jelas Rudiantara.
Sebelumnya diberitakan Tribunnews.com, pemerintah telah menyimpulkan tiga persyaratan yang harus dipenuhi supir GrabCar dan Uber.
Syarat pertama bagi pengemudi mobil Sedan maka harus memakai SIM A umum. Sedangkan untuk mobil seven seater harus memakai SIM B1.
"Ini nggak bisa ditawar, gak bisa pakai sim C ya. Harus pake SIM A umum," ujar Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.
Syarat kedua kendaraan harus tetap di KIR, yang direkomendasikan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat. Jonan menegaskan pemenuhan syarat KIR juga harus dipatuhi oleh Metromini dan Kopaja.
"Ini berlaku buat semua, metromini, kopaja, semua transportasi umum yang ada di Organda," kata Jonan.
Hal ketiga kata Jonan terkait perubahan STNK. Jonan menjelaskan jika angkutan umum berbadan hukum, maka STNK-nya harus berasal dari sebuah perusahaan.
"Kalau koperasi, coba nanti diliat lagi itu di UU. Kalau prinsipnya nggak ikutin itu nggak boleh jalan," papar Jonan.