Tarif Interkoneksi Tidak Tepat Memicu Iklim Usaha Tidak Sehat
jika kebijakan pemerintah tidak tepat, monopoli di luar Pulau Jawa terjadi, maka yang paling dirugikan atas tindakan operator itu adalah konsumen
Editor: Eko Sutriyanto
Soalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif berpotensi menjadi tak wajar.
Penilaian tersebut disampaikan oleh Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi, saat ditanyai terkait rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi.
"Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," ujarnya.
Menurut dia, inilah tugas pemerintah dalam menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di dalam negeri. "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing," paparnya.
Tarif interkoneksi merupakan komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan.
Formula perhitungan tarif interkoneksi ditetapkan oleh pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.
Heru menambahkan pemerintah merancang regulasi itu pada 2005 dan diundang-undangkan pada 2007, sehingga mestinya direvisi kembali saat ini.
Utamanya, soal penurunan tarif secara bertahap yang dinilai melestarikan praktek monopoli.
Dia menggarisbawahi sudah seharusnya regulator meninjau ulang aturan itu mengingat saat ini tarif telepon sesama operator jauh lebih murah dibanding tarif interkoneksi atau antar operator.
Keadaan inilah yang memberatkan pelanggan dan secara tak langsung mengarah pada praktek monopoli.
"Kompetisi tidak terjadi, nah penurunan biaya interkoneksi ini diharapkan memicu adanya kompetisi," ujar Heru.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.