Sikap Fraksi Demokrat DPR Terkait RUU Tax Amnesty
Hal yang disorot fraksi Demokrat mengenai masalah perbedaan sanksi hukuman yang diberikan pada peserta pengampunan pajak.
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah terkait RUU Tax Amnesty, Fraksi Demokrat DPR RI masih mengajukan catatan.
Hal yang disorot fraksi Demokrat mengenai masalah perbedaan sanksi hukuman yang diberikan pada peserta pengampunan pajak.
Anggota DPR Komisi XI Evi Zainal Abidin dari Fraksi Demokrat mengajukan keberatan tax amnesty karena
definisi pengampunan, harta, dan tebusan.
Sejak awal, Demokrat konsisten mengatakan cukup sanksi administrasi dan pidana pajak yang diberi pengampunan.
"Pajak terutang tetap dibayar agar bangsa ini tetap menikmati penerimaan yang memadai," ujar Evi, Senin (27/6/2016).
Terkait definisi harta fraksi Demokrat berpandangan, jenis harta dan aset harus merupakan harta yang legal, tidak berasal dari hasil korupsi, narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia.
Evi mengatakan komitmen pemberantasan korupsi akan luntur dengan tidak memperhatikan sumber harta.
"RUU tax amnesty sampai menjadi sarana legalisasi pencucian uang," kata Evi.
Sedangkan untuk tarif tebusan. Dalam rumusan RUU, pemerintah mengajukan usul tarif tebusan berada pada kisaran 2-10 persen.
Tarif seharusnya paling sedikit disesuaikan dengan UU KUP untuk yang repatriasi.
"Sedangkan untuk yang tidak melakukan repatriasi dan belum memiliki NPWP harus lebih tinggi dibandingkan dalam UU KUP," kata Evi.
Dalam rapat kerja tersebut ada tiga fraksi yang masih memberikan catatan khusus terkait Tax Amnesty. Tiga fraksi tersebut adalah Demokrat, PDI-P, dan PKS.
Selanjutnya dalam rapat paripurna akan dibahas dan disempurnakan kembali RUU Tax Amnesty yang telah diberi masukan oleh tiga fraksi.
Sebelumnya diketahui pemerintah ingin mendorong adanya RUU Tax Amnesty untuk menambah pemasukan negara lewat pajak.
Kementerian Keuangan menargetkan potensi pengampunan pajak sebesar Rp 160 triliun.