Energi Bukan Komoditas tapi Penggerak Perkembangan Perekonomian Indonesia
Untuk menjaga iklim investasi di negeri ini, kita harus melihat bahwa energi bukanlah komoditas, tapi itu adalah faktor berkembangnya investasi
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan investor asing yang berminat menanamkan modal di Indonesia sering mengeluhkan pasokan dan kualitas listrik di kawasan industri guna menjaga kontinuitas produksi.
Karena itu, peran listrik swasta sangat penting guna bersinergi dengan PT PLN (Persero) untuk menjaga kesinambungan pasokan dan kualitas listrik di kawasan industri.
Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Imam Haryono menjelaskan investor asing tidak mungkin memodali proyek pembangunan pabrik tanpa jaminan pasokan listrik 24 jam.
Untuk itu, perlu perubahan paradigma guna menjaga iklim investasi industri di negeri ini agar tetap sehat.
Caranya dengan melihat energi bukan sebagai komoditas, namun motor dari perkembangan perekonomian Indonesia.
"Untuk menjaga iklim investasi di negeri ini, kita harus melihat bahwa energi bukanlah komoditas, tapi itu adalah faktor berkembangnya investasi," ujarnya, Selasa (26/7/2016).
Selama ini, banyak kalangan salah menilai soal energi, khususnya energi listrik. Imam menilai terpenuhinya kebutuhan listrik bukan hanya terkait pasokan, tapi juga kualitas.
"Banyak pengusaha asing mengeluh hal ini karena pasokan listrik tidak bisa menyokong kebutuhan selama 24 jam da 100% penuh," katanya.
Kehandalan penyokong listrik harus 100 persen dan 24 jam, karena sekali pabrik berhenti itu ruginya besar sekali," papar Imam.
Bisa dibayangkan kerugian pabrik misalnya, jika mesin super besar yang dioperasikan harus melakukan restart atau mengulang dari awal ketika listrik mati meski hanya sebentar.
Menurut data yang berhasil dihimpun riset PricewaterhouseCoopers (PwC), tujuh sektor manufaktur nasional merugi sekitar Rp 5,6 triliun setiap tahun akibat pemadaman berkala.
Sementara, pasokan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya mampu menyokong 10 ribu Mega Watt (MW) dan potensi mati lampu masih terus menghantui pelaku usaha.
Untuk itu, Imam menegaskan, perlu ada kerjasama dari PLN dan pembangkit listrik swasta guna menyuplai hingga 35 ribu MW sesuai target pemerintah.
Kemenperin sendiri sangat setuju dengan langkah tersebut apalagi pembangkit-pembangkit swasta itu tersedia dalam kawasan industri, sehingga terintegrasi langsung dengan pabrik.
Namun demikian, pihak swasta perlu memenuhi tiga syarat untuk membangun pembangkit listrik.
"Pertama, belum ada aset PLN di sana, kedua belum dijangkau PLN dan yang ketiga harus punya kekuatan modal," ujar Imam.
Lebih lanjut mengenai harga, dia mengatakan hal tersebut adalah urusan antara pengusaha dan pengusaha, alias business to business.
Pemerintah dalam hal ini hanya mendukung melalui regulasi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 142 tahun 2015 tentang kawasan industri di pasal 42 ayat 1.
Landasan hukum tersebut telah disiapkan sebagai koridor untuk perusahaan listrik swasta beroperasi.
Tak hanya dari pihak eksekutif, pihak legislatif juga menyatakan dukungan terhadap perusahaan listrik swasta membantu percepatan program 35 ribu MW.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VII Kurtubi mendukung hal tersebut. Tujuannya yakni mempercepat pergerakan roda ekonomi Indonesia.
Saat ini banyak perusahaan listrik swasta menyiapkan skema private power utility (PPU) untuk membantu PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mempercepat pencapaian 35 Ribu MW.
PPU sebagai sumber listrik yang berdikari mampu menyokong pasokan tenaga di kawasan industri.
Dengan kondisi tersebut, diharapkan bisa menjaring banyak investor berkelas internasional berinvestasi di dalam negeri.
Ada sedikitnya lima perusahaan yang bergerak di sektor private power utility (PPU) di Tanah Air. Contohnya seperti PT Bekasi Power, PT Cikarang Listrindo Tbk, dan PT Kariangau Power.