Penerapan Kemasan Rokok Polos Berpotensi Tingkatkan Rokok Ilegal
“Kami melakukan penindakan yang tiada henti sehingga harapannya akan meminimalisir peredarannya," ujar Deni.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menindak sebanyak 1.300 kasus peredaran rokok ilegal di sepanjang 2016.
Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro mengatakan, peredaran rokok ilegal mempengaruhi pemasukan negara dari penerimaan cukai. Dengan langkah penindakan dan pengawasan, Bea Cukai berharap peredaran rokok ilegal semakin berkurang di Indonesia.
“Kami melakukan penindakan yang tiada henti sehingga harapannya akan meminimalisir peredarannya," ujar Deni kepada wartawan, akhir pekan lalu.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, penerimaan cukai dari Januari hingga per Juli 2016 ini baru mencapai Rp 41,6 triliun. Angka ini hanya 28 persen dari target Kementerian Keuangan yang sebesar Rp 146 triliun. Kini, pemerintah tengah mengusulkan perubahan target cukai naik menjadi Rp 148 triliun di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016.
Maraknya rokok ilegal disinyalir akan meningkat apabila Indonesia menerapkan kebijakan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Saat ini Indonesia belum menjadi bagian dari FCTC, namun desakan kepada pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi internasional tersebut sangat tinggi, khususnya oleh para LSM anti-tembakau.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation (CITA) Yustinus Prastowo sebelumnya menyampaikan, penerapan kebijakan kemasan polos tanpa merek diprediksi akan mendorong maraknya penjualan rokok ilegal. Musababnya, tidak adanya perbedaan antara produk yang satu dengan lainnya. Karena itu, Yustinus berpendapat masyarakat pun sangat sulit untuk mengetahui yang mana produk resmi. “Jadi kebijakan ini kurang tepat untuk diterapkan,” dia berujar.
Lantaran tidak adanya merek pada kemasan, Yustinus melanjutkan, produsen rokok dapat menjual produknya dengan harga semurah-murahnya. Langkah ini pun akan diikuti produsen-produsen lainnya. “Jika semua harga murah, penerimaan negara dari cukai bisa berpengaruh. Basis harga yang rendah di market, cukai pun turun,” kata dia.
Kebijakan kemasan polos rokok merupakan salah satu pedoman dari Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) yang diinisiasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam FCTC terdapat beberapa pedoman ekstrim seperti pelarangan penggunaan cengkih dalam rokok, pengalihan lahan tembakau, dan pelarangan pemajangan rokok di tempat penjualan.
Senada dengan Yustinus, Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, meminta pemerintah untuk mengkaji lebih mendalam apabila menerapkan kebijakan dari konvensi kerangka kerja tentang pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
“Jika (kebijakan kemasan polos tanpa merek) diloloskan, masyarakat jadi tidak bisa membedakan mana rokok yang legal dan ilegal. Apakah sudah membayar cukai apa belum? Kalau ada merek akan kelihatan mudah dan ini masalah juga,” kata Hikmahanto, akhir pekan lalu.
Hikmahanto menambahkan, besar kemungkinan kebijakan kemasan rokok polos dikeluarkan FCTC untuk menekan persaingan di antara para produsen rokok, selain mendorong penurunan konsumsi rokok. Salah satu negara yang sudah menerapkan beleid tersebut adalah Australia. “Saya juga tidak tahu kenapa Australia menerapkannya. Indonesia harus mengkaji hal ini,” ujar Hikmahanto.
Dorong pertumbuhan dana terorisme
Kebijakan kemasan polos diprediksi bakal menyuburkan penyelundupan rokok ilegal. Padahal, kini, rokok ilegal menjadi primadona baru sumber pendanaan aksi terorisme, menyaingi gurihnya hasil penyelundupan narkoba. Konsultan keamanan yang pernah bekerja selama 26 tahun di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Thomas Lesnak, berpendapat pemerintah Indonesia berada di bawah tekanan yang luar biasa untuk mempertimbangkan kebijakan kemasan polos tanpa merek.
Lesnak memaparkan bahwa Departemen Luar Negeri AS, Interpol, dan Perserikatan Bangsa Bangsa menganggap rokok ilegal sebagai epidemi yang mendanai organisasi kriminal dan teroris internasional di seluruh dunia. Setiap tahun, lebih dari 400 miliar batang rokok dijual secara ilegal di seluruh dunia.
“Tidak ada komoditas lain yang mudah untuk diselundupkan. Cukup melintasi perbatasan dengan sedikit risiko demi keuntungan yang besar,” kata Lesnak.
Menurut Lesnak, pola pelanggaran hukum yang dilakukan organisasi penyelundup tembakau mengalami peningkatan di seluruh dunia.
Pada Maret lalu, Kepolisian Kanada menggagalkan operasi penyelundupan rokok ilegal terbesar dalam sejarah Amerika Utara. Keuntungan dari hasil operasi penyelundupan itu rencananya akan digunakan untuk membeli kokain dan melakukan pencucian uang di Eropa.
“Baru-baru ini, pihak berwenang menyita tembakau dan senjata yang ditujukan untuk sejumlah kelompok teroris di Libia,” kata Lesnak.