Industri Televisi Hadapi Tantangan Tayangan Streaming, Ini Rekomendasi ATVSI untuk RUU Penyiaran
"Kita hanya bisa melakukan pembatasan konten-konten tertentu seperti konten bermuatan terorisme, pornografi atau yang membahayakan moral anak-anak."
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR RI saat ini tengah membahas draft Rancangan Undang Undang Penyiaran (RUU Penyiaran). Draft ini merupakan inisiatif DPR. Namun melihat isi usulan pasal-pasalnya, kalangan pelaku industri siaran televisi menilai konsep RUU tersebut masih jauh dari harapan.
Pasal-pasal dalam draft RUU ini belum mencerminkan nasfas kesiapan pemerintah sebagai regulator dan industri televisi nasional dalam menghadapi tantangan industri penyiaran global, karena industri siaran televisi nasional kini harus bersaing ketat dengan siaran televisi streaming melalui media sosial seperti YouTube dan sejenisnya.
Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK menilai, draf revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 belum mampu menjawab tantangan tersebut.
Ishadi memaparkan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat tren dan aktivitas siaran melalui media sosial seperti YouTube, Instagram dan Facebook tak bisa dibendung lagi. Siapa saja kini bisa membuat konten lalu menyebarluaskannya ke publik.
Regulasi tentang penyiaran harus bisa menjawab tantangan itu. Memang, tren yang berkembang tidak bisa lagi dikontrol sepenuhnya lewat peraturan. Tapi, melalui UU, regulator masih bisa membuat batasan-batasan menyangkut konten tertentu yang boleh dan tidak boleh disiarkan.
Antara lain konten yang membahayakan keamanan dan keselamatan negara, konten berbau terorisme dan pornografi.
"Kita hanya bisa melakukan pembatasan atas konten-konten tertentu yang seperti konten bermuatan terorisme, pornografi atau yang membahayakan moral anak-anak," kata Ishadi SK, Sabtu (13/5/2017).
Ishadi menambahkan, industri televisi nasional perlu mengantisipasi tren teknologi penyiaran yang sedang berkembang tersebut dengan membuat konten siaran yang menarik dan berkualitas. Kemudian, menyiarkannya melalui streaming di internet.
Dia menilai, pasar utama siaran streaming saat ini adalah anak muda, karena mereka sangat melek gadget. "Anak-anak muda sekarang sudah mulai jarang menonton televisi. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton siaran streaming melalui YouTube," ungkapnya.
Dengan membuat konten-konten positif dan menyiarkannya secara streaming, stasiun televisi nasional akan berkontribusi dalam menyediakan materi siaran yang positif ke kalangan anak muda.
Tantangan teknologi siaran lainnya yang harus diantisipasi menurut Ishadi adalah hadirnya televisi Google yang sepenuhnya menggunakan fasilitas networking milik Google yang ditandai dengan fenomena adanya akun dengan jumlah follower sangat besar, mencapai 2 miliar.
Akun-akun yang memiliki follower luar biasa itu kemudian oleh Google dimanfaatkan untuk membangun media yang bisa menjalin interaksi baru yang lebih cepat dengan konten lebih bagus dan menyebarkannya melampaui batas-batas teritorial negara.
Semangat membentengi generasi muda Indonesia dari masuknya konten-konten berdampak negatif oleh industri televisi penyiaran nasional seperti itulah yang seharusnya terwakili dalam pasal demi pasal di RUU Penyiaran yang kini dibahas di DPR RI.
Draft RUU Penyiaran yang saat ini beredar adalah versi tanggal 6 Febuari 2017. Draft ini sudah berada di tangan Badan Legislasi DPR RI.