Jakarta Kini Bagaikan 'Kota Sakit'
Seperti orang penyakitan, Jakarta kian sulit bergerak, bahkan bisa tumbang bila tak menemukan resep yang tepat untuk menyembuhkannya.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sakit keras, inilah gambaran paling tepat untuk Jakarta saat ini. Demikian banyak penyakit di kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa ini.
Seperti orang penyakitan, Jakarta kian sulit bergerak, bahkan bisa tumbang bila tak menemukan resep yang tepat untuk menyembuhkannya.
Sesungguhnya berbagai resep telah dicoba untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang manusiawi. Namun ibukota Indonesia ini tetap saja kusut dan semrawut, seolah hanya keajaiban yang bisa membuatnya lebih baik.
Sungguh menjengkelkan karena Jakarta adalah pusat pemerintahan, perdagangan, dan industri Indonesia sekaligus.
Demikian besar dana telah dikucurkan untuk membangun Jakarta. Bahkan Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah (APBD) Jakarta jauh lebih besar ketimbang kota-kota lainnya.
Mengingat statusnya sebagai etalase utama Indonesia, pilih kasih ini tampaknya belum akan berubah.
Pemberian prioritas sangat tinggi kepada Jakarta tampak dari APBD-nya. Bahkan dengan kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya, APBD Jakarta mencapai 9 kali lipat lebih besar.
Baca: Tak Ada Lagi Tempat Aman di Jakarta, Saatnya Mencari Kota Lain
Tahun lalu, APBD Jakarta adalah Rp 67,1 trilliun, sementara Surabaya hanya Rp 7,9 trilliun. Perbandingan penduduk Jakarta dengan Surabaya adalah 10 juta banding 2,9 juta.
Dengan demikian, suka atau tidak, Jakarta masih akan menjadi magnet raksasa bagi jutaan perantau dari berbagai daerah.
Pembangunan infrastuktur di Jakarta yang lebih massif dan cepat dibandingkan kota-kota lain akan memperkuat keyakinan para pemburu pekerjaan bahwa Jakarta adalah kota paling menjanjikan.
Mereka tak peduli bahwa Jakarta sesungguhnya sudah lama kedodoran menghadapi melesatnya jumlah penduduk.
Kenyataan ini, sebagaimana kota-kota besar lainnya, karena kapasitas Jakarta untuk mengembangkan diri terbatas.
Luas wilayah dan kondisi keuangan negara adalah batasan yang terlalu sulit ditembus.
Hal ini menyebabkan Jakarta sering mengalami kesulitan meladeni tingginya laju pertumbuhan penduduk akibat kelahiran dan serbuan perantau meski pembangunan dilakukan 24 jam sehari.