Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Berisiko Kerek Beban Usaha Swasta
Sebelumnya, lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s memprediksi nilai tukar rupiah bakal menyentuh level Rp 15.000 per dolar AS.
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, diprediksi bakal mengerek beban usaha swasta. Peningkatan beban usaha tersebut imbas dari naiknya kewajiban membayar utang usaha.
Pasalnya, nilai tukar rupiah menurut catatan Bloomberg per hari ini, Kamis (15/3/2018) berada di level 13.741 per dolar AS.
Jika dihitung sejak awal Maret 2018, mata uang garuda mengalami pelemahan sebesar 0,27 persen. Namun jika dihitung sejak awal tahun, niai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 1,5 persen.
Sebelumnya, lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s memprediksi nilai tukar rupiah bakal menyentuh level Rp 15.000 per dolar AS.
Baca: Lama Tak Muncul di Layar Kaca, Kondisi Terakhir Chef Harada Bikin Netizen Sedih
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara tidak menampik, proyeksi depresiasi tersebut bisa saja terjadi karena derasnya tekanan dari The Federal Reserve dan kebijakan proteksionisme Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Pelemahan ini, kata Bhima diprediksi akan berlanjut hingga tahun 2019.
Bhima menilai, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut bisa berisiko pada meningkatnya beban usaha swasta. Dunia usaha kata Bhima bakal terdampak akibat pelemahan tersebut.
Dengan adanya peningkatan kurs rupiah terhadap dolar AS, otomatis kewajiban perusahaan swasta untuk membayar utang akan menjadi lebih mahal.
“Ketika ada risiko pelemahan kurs rupiah, kewajiban bayar utang menjadi lebih mahal,” kata Bhima.
Selain itu, kata Bhima dengan meningkatnya kurs nilai tukar terhadap dolar AS, biaya produksi dalam negeri bakal terkerek karena naiknya beban impor, karena mayoritas bahan baku seperti industri farmasi, tekstil dan petrokimia masih 60 persen impor. Untuk itu, kata dia, perusahaan harus melakukan efisiensi.
Selain itu, kata dia, yang perlu dilakukan Pemerintah runtuk menekan volatilitas rupiah tersebut adalah dengan memperkuat cadangan devisa di antaranya dengan meningkatkan ekspor, menggenjot pariwisata dan memperbaiki iklim investasi.
“Sebab jika menurunkan instrumen moneter melalui kenaikan suku bunga acuan, bakal menguras cadangan devisa,” pungkas Bhima.