Pembenahan Regulasi Pekerja Migran Lebih Mendesak Dibandingkan Uji Coba Pengiriman
pembenahan penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas para pekerja migran Indonesia,
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menegaskan pembenahan regulasi terkait pekerja migran lebih mendesak dilakukan. Pembenahan yang dimaksud meliputi regulasi pendaftaran hingga perlindungan para pekerja migran.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy, mengatakan pembenahan penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas para pekerja migran Indonesia, meringankan beban finansial yang harus ditanggung saat pendaftaran dan memastikan perlindungan mereka di negara tujuan kerja.
"Penyederhanaan regulasi pendaftaran harus dilakukan supaya menjadi lebih mudah dan lebih murah. Regulasi yang perlu disederhanakan antara lain adalah penyederhanaan persyaratan dan besaran biaya pendaftaran serta penyederhanaan proses pemeriksaan kesehatan," ujar Imelda Freddy, dalam keterangan tertulis, Kamis (21/6/2018).
Untuk mendaftar sebagai asisten rumah tangga, seorang calon pekerja migran harus menyiapkan uang sebesar Rp 8 juta atau 600 dolar AS dan membutuhkan waktu selama tiga sampai empat bulan. Biaya sebesar ini setara dengan dua pertiga upah minimum tahunan di banyak kota di Pulau Jawa.
Menurut Imelda, hal ini tentu saja menciptakan beban finansial bagi para calon pekerja migran. Rumitnya regulasi juga membuat mereka ‘terpaksa’ bergantung pada calo atau agen yang tidak jarang hanya mengeksploitasi mereka tanpa memperhatikan tiap prosedur yang harus dijalankan.
CIPS juga memandang perlunya evaluasi mengenai kurikulum yang diajarkan kepada calon pekerja migran di Balai Latihan Kerja (BLK). Kurikulum yang diajarkan sebaiknya juga mengandung materi mengenai kebudayaan dan bahasa dari negara tujuan, selain tentang pekerjaan.
Pemerintah bisa memaksimalkan peran Puskesmas dengan memperbolehkan para calon pekerja migran untuk menjalani tes kesehatan sebagai bagian dari persyaratan pendaftaran. Durasi pelatihan yang berlangsung selama dua bulan seharusnya dikurangi agar mereka tidak kehilangan potensi pendapatan.
Imelda juga menambahkan, pemerintah seharusnya menggunakan basis data E-KTP untuk perlindungan pekerja migran. Dengan menggunakan E-KTP yang dapat diakses secara online, proses pencocokan data akan jadi lebih mudah serta dapat menghindari pencatatan data secara ganda atau tidak akurat.
Proses validasi data ini berlaku bagi setiap pekerja migran yang bekerja diluar negeri, baik yang menempuh jalur resmi atau jalur tidak resmi.
Imelda juga menjelaskan, hasil dari validasi data ini dapat digunakan sebagai instrumen pemerintah untuk melakukan proses monitoring serta track and trace.
Dengan adanya validasi data, pemerintah dapat mengetahui secara faktual dan konkret jumlah pekerja migran Indonesia yang sedang bermukim dan bekerja di luar negeri.
Dengan demikian, proses ini memungkinkan pekerja migran yang sedang mengalami kasus hukum untuk mendapatkan bantan hukum sedini mungkin dan memungkinkan penyelesaian kasus secara damai.
“Terkait rencana pemerintah untuk melakukan uji coba, hal ini boleh saja dilakukan tapi harus didahului adanya pembenahan regulasi. Uji coba tanpa pembenahan regulasi sama saja dengan mengulang kesalahan yang sama,” ungkapnya.