Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ditjen HKI Canangkan 2019 Tahun Desain Industri

Indonesia meratifikasi perjanjian internasional bersama World Trade Organization (WTO) pada 1998 tentang Trade Related Aspects

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Ditjen HKI Canangkan 2019 Tahun Desain Industri
Tribun Jabar/Mega Nugraha
Direktur Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Freddy Haris 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna

TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG-Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan HAM mencanangkan tahun ini sebagai tahun pendaftaran hak desain industri. ‎

Desain industri di atur di Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

"Jadi di kita ini banyak orang-orang kreatif, Bandung teruji orang-orang kreatifnya. Tapi perlindungan terhadap mereka kurang, kedua banyak yang tidak mengerti arti perlindungan kreatifitas itu. Makanya, kami canangkan tahun ini sebagai tahun desaign industri di Bandung karena saya tahu betul, Bandung kota kreatif," ujar Direktur Ditjen HKI, Freddy Haris di Jalan Lembong Kota Bandung, Selasa (12/3).

Seperti diketahui, Indonesia meratifikasi perjanjian internasional bersama World Trade Organization (WTO) pada 1998 tentang Trade Related Aspects Of Intellectual Property Rights (TRIP's). Konsekuensi dari perjanjian itu, Indonesia akhirnya menerbitkan sejumlah undang-undang.

Yakni Undang-undang Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Industri dan Undang-undang Perlindungan Sirkuit Terpadu. Semua ketentuan itu mengatur soal perlindungan dan sanksi hukum bagi pelanggar.

"Lalu terhadap desain industri, Bandung ini sudah disebut Paris Van Java dan sudah banyak kreatifitas dari fashion produk dan sebagainya. Namun yang terjadi adalah masih minimnya pendaftaran desain ke tempat kita. Makanya kami bilang, ayo daftarkan, jangan sampai desain ditiru di tempat lain," ujar Freddy.

Berita Rekomendasi

Tujuan substansi dari semua undang-undang terkait hak kekayaan intelektual itu melindungi hak kreator dari setiap pelanggaran terhadap hak-hak tersebut.

"Ini persoalan ekonomi masyarakat. Persoalan perlindungan orang-orang yang kreatif. Kalau enggak dilindungi, orang kreatif enggak mau lagi melakukan kreatifitasnya," ujar dia.

Sebagai gambaran minimnya pendaftaran hak desain, Indonesia jauh lebih kecil dibanding negara lain yang warganya selalu berkreasi. China misalnya, setiap tahun, pendaftaran terhadap hak desain industri mencapai 500 ribu per tahun.

"Di kita, tiap tahun hanya 4000 pendaftaran saja, untuk hak desain industri. Alasannya kalau dianalisa, ‎karena masyarakat masih merasa, 'ngapain sih daftar, mereka anggap nggak ada gunanya," ujar dia.

Ia mencontohkan, dulu orang abai terhadap hak paten, merek dan hak cipta. Tapi saat ada pelanggaran terhadap tiga hal itu, masyarakat mulai sadar.

‎"Dulu juga orang nggak mau daftar merek dan paten tapi tiba-tiba barangnya ditiru dan dijual. Setelah itu pada daftar. Nah desain industri jangan sampai terjadi," ujar dia.

‎Di Undang-undang Desain Industri, desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.

"Bentuk ponsel misalnya, itu salah satunya bagian‎ dari desain industri. Untuk pendaftarannya itu diajukan ke kami, prosesnya mencapai 12 bulan," kata Freddy.

Contoh kasus dari pelanggaran desain industri dialami oleh Friska ‎Noviana (40), warga Kota Bekasi membuat satu produk pada 2009. Ia diminta konsumennya untuk menjaga ke eklusifitasan dari produk tersebut. Friska kemudian mendaftarkan desain produknya ke Ditjen HKI Kemenkum HAM.

"Pengajuan saya disetujui pada 2016‎. Namun, selama pengajuan hingga terbit sertifikat, produk saya sudah ditiru di luaran dan saya rugi besar secara materi," ujar Friska.

Ia mengajukan somasi pada peniru. Namun tetap tidak digubris. Ia melaporkannya ke polisi, namun tetap tidak mendapat hasil memuaskan. Hingga akhirnya, ia melaporkan ke Ditjen HKI untuk ditangani dan sempat diproses. Namun, prosesnya terkendala karena harus menghadirkan saksi ahli dengan biaya tidak sedikit. (men)

Sumber: Tribun Jabar
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas