Dinilai Bagian dari Warisan Budaya, Pemerintah Perlu Lindungi Pabrik Rokok Kretek
Rokok kretek mampu menghidupi banyak orang di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya sejak akhir abad ke-18.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tokoh masyarakat Yogyakarta GKR Condrokirono menyatakan, Pemerintah perlu melindungi pabrik rokok kretek di Indonesia dari regulasi yang mengancam keberlangsungan usaha rokok kretek di Indonesia.
GKR Condrokirono menilai, rencana Pemerintah yang akan menaikkan batasan produksi SKT golongan 2 dari 2 miliar menjadi 3 miliar batang akan menyulitkan usaha rokok kretek berkembang di Indonesia.
Dia mengatakan, bisnis rokok kretek di Indonesia tak bisa semata hanya dilihat sebagai sebuah industri, tapi juga warisan budaya yang perlu dilestarikan.
Karenanya dia menilai pemerintah perlu memberi perlindungan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.
“Para pelinting rokok sangat menggantungkan kehidupannya pada pekerjaan ini demi kelangsungan keluarganya. Kami hanya bisa berharap agar Pemerintah dapat melihat dan meneliti kembali kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan sebelum menggerus habis industri sigaret kretek tangan,” kata putri Sri Sultan Hamengkubuwono X itu dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (14/9/2019).
GKR Condrokirono menjelaskan, berdasarkan hasil berbagai penelitian, rokok kretek mampu menghidupi banyak orang di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya sejak akhir abad ke-18.
Persebaran produksi rokok kretek dimulai dari usaha-usaha kerajinan rakyat, hingga akhirnya berkembang menjadi industri kecil, bahkan perusahaan.
Baca: Lenovo V130-14, Laptop Harga Terjangkau Berkinerja Mumpuni untuk Para Pebisnis
“Sejak tahun 1900-an, kretek telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Yogyakarta yang diwariskan secara turun temurun dan Yogyakarta sudah menjadi bagian dari perjalanan panjang sejarah kretek di Indonesia,"katanya.
Lebih dari satu abad, kretek telah mewarnai kehidupan masyarakat Yogyakarta. "Jangan sampai salah satu warisan budaya kita yang sudah turun temurun ini hanya dilihat sebelah mata dan hilang,” tutup GKR Condrokirono.
Ketua Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Joko Wahyudi menilai, wacana ini tidak hanya menimbulkan kegaduhan di industri rokok, namun akan menciptakan dampak sosial ekonomi yang sangat besar dan mengancam puluhan ribu buruh terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Bagaimana mungkin sebuah pabrikan yang memiliki modal besar dan merupakan salah satu pabrikan besar dunia inginmenaikkan batasan produksi sigaret kretek tangan golongan 2 yang tarif cukainya lebih murah? Ini jelas-jelas menguntungkansatu pabrikan besar asing saja, dan merugikan pihak lainnya,” jelas Joko.
Dia mengatakan, usulan kenaikan batasan produksi SKT golongan 2 yang diajukan satu perusahaan besar asing ini akan menyebabkan 28.000 pelinting yang bekerja di pabrikan SKT golongan 1 akan kehilangan pekerjaan.
Negara juga berpotensi kehilangan penerimaan cukai sekitar Rp 1 triliun.
Joko menambahkan, tanpa adanya kenaikan batasan produksi SKT golongan 2, para buruh linting telah menderita lantaran penurunan pangsa pasar SKT secara tajam dari 37 persen pada 2006 menjadi 17 persen pada 2018.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.