90.000 Buruh Pabrik Rokok Kena PHK, Gaprindo Keluhkan Regulasi yang Semakin Eksesif
Jumlah pabrikan IHT skala kecil hingga menengah dan besar saat ini hanya tersisa sekitar 700 perusahaan.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Industri Hasil Tembakau (IHT) masih menjadi salah satu industri yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia meski beberapa tahun belakangan, volume produksi industri ini menunjukkan tren turun.
Jumlah pabrikan IHT skala kecil hingga menengah dan besar saat ini hanya tersisa sekitar 700 perusahaan. Padahal di 2007 masih terdapat lebih dari 4.000-an pabrikan.
Penurunan ini berdampak pula serapan tenaga kerja yang sejak 2014, lebih dari 90 ribu tenaga kerja pabrik tembakau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Muhaimin Moeftie menyatakan, iklim usaha IHT kini semakin tidak kondusif dengan hadirnya peraturan-peraturan yang kian eksesif yang menurutnya semakin menekan industri ini lebih lanjut.
Salah satu isu yang kini tengah menjadi pembahasan luas dan menambah keresahan para pelaku IHT adalah proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Revisi yang digagas tim Kementerian Kesehatan tanpa pelibatan pelaku usaha tersebut mencakup beberapa poin perubahan yang berdampak pada keberlangsungan IHT.
Sejumlah poin perubahan antara lain perubahan ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40 persen menjadi 90 persen dari total kemasan; pelarangan penggunaan bahan tambahan; dan pelarangan iklan di sejumlah media.
Kementerian Kesehatan berpendapat, revisi akan membantu mengurangi angka prevalensi perokok, khususnya dari kalangan anak-anak dan remaja.
Baca: Pesta Diskon Hingga 70 Persen di Festival Kuliner Indonesia Great Sale 2019
Namun, proses pembahasan revisi sudah mendapat penolakan dari para pelaku industri serta asosiasi. Selain Kementerian Kesehatan dinilai tidak terbuka menyampaikan latar belakang perlunya revisi atas PP No.109 Tahun 2012, para pemangku kepentingan seperti asosiasi industri, asosiasi petani, pedagang, hingga konsumen merasa tidak pernah dilibatkan dalam prosesnya.
Baca: Gaprindo Setuju Iklan Rokok di Internet Diblokir
“Kami menyadari, produk tembakau merupakan produk yang memiliki resiko. Karena ini kami senantiasa berkoordinasi dan sepenuhnya menghormati upaya Pemerintah dalam mengendalikan konsumsinya."
"Namun, selayaknya dalam mencari solusi yang adil dan berimbang, Pemerintah turut mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial terhadap seluruh rantai pasok IHT. Tidak ketinggalan melibatkan dan menampung masukan para pemangku kepentingan IHT, termasuk pelaku industri,” ungkap Muhaimin Moeftie.
Sejalan dengan pendapat asosiasi tembakau lainnya, Muhaimin menyatakan, GAPRINDO meyakini PP No. 109 Tahun 2012 yang berlaku saat ini sebenarnya sudah mengakomodasi dengan tepat hak pelaku industri maupun hak publik.
Asosiasi mengusulkan pemerintah dapat fokus kepada upaya nyata yang dapat dilakukan untuk menekan angka prevalensi perokok, seperti edukasi dan pengendalian akses juga konsumsi rokok oleh anak serta remaja.
Muhaimin menyebutkan, banyak upaya strategis yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok di bawah umur tanpa harus menekan keberlangsungan IHT. Misalnya sosialisasi kepada pengecer/peritel; memasukkan materi bahaya merokok ke dalam kurikulum pendidikan; edukasi mengenai pengasuhan anak bagi orang tua; pertemuan rutin bersama kelompok pemuda di daerah, dan lainnya.
"Dengan edukasi yang lebih terstruktur dan menarget banyak lapisan, tentu bisa membuat langkah pencegahan perokok anak semakin efektif, bukan lantas menghukum pelaku industri secara sepihak,” ujar Muhaimin Moeftie.
Dia mengatakan, perusahaan anggota GAPRINDO juga berkontribusi mengkomunikasikan pelarangan akses rokok oleh anak dan remaja sesuai dengan PP No. 109 tahun 2012 dan ke depannya akan melanjutkan program sosialisasi ke kalangan peritel agar tidak menjual produk rokok kepada anak dan remaja di bawah usia 18 tahun dengan alasan apapun.
Muhaimin Moeftie menyatakan, GAPRINDO berharap pemerintah agar mempertimbangkan untuk menghentikan proses revisi PP No.109 tahun 2012. GAPRINDO juga meminta Kementerian Kesehatan membuka pintu diskusi dengan industri guna menghasilkan solusi yang tepat bagi seluruh pihak.
“Sebagai industri legal yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian negara, kami berharap Pemerintah dapat lebih memperhatikan keberlangsungan industri yang menaungi 6 juta masyarakat Indonesia ini," ujarnya.
"Kekhawatiran kami, jika upaya pengendalian konsumsi ini tidak diputuskan dengan bijak dan akomodatif bagi seluruh pihak, hanya akan menimbulkan dampak lanjutan yang malah merugikan Pemerintah dan masyarakat sendiri,” imbuhnya.