Pembangunan Kilang Pertamina Terhambat, DPR: Bukan Ulah Mafia Migas
Ketua DPP Partai Hanura Inas N Zubir mengatakan, tersendatnya revitalisasi kilang karena valuasinya tidak cocok dengan investor.
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan kilang PT Pertamina (Persero) yang terhambat dinilai bukan karena ulah dari mafia di industri minyak dan gas (migas).
Ketua DPP Partai Hanura Inas N Zubir mengatakan, tersendatnya revitalisasi kilang karena valuasinya tidak cocok dengan investor.
Selain itu, persoalan terhambatnya pembangunan kilang dinilainya bukan karena mafia migas, tapi karena pembebasan lahan tidak kunjung rampung dan Pertamina tidak punya uang.
Baca: Komisi VII DPR Dukung Pemerintah Perangi Mafia Migas
Baca: Jokowi Ancam yang Suka Impor Gas, Fahri Hamzah: Kedengarannya Ada Orang Lebih Kuat dari Presiden
"Banyak yang belum bayar utang kepada Pertamina. Bahkan Pemerintah sendiri berutang lebih dari Rp 70 triliun kepada Pertamina," ujarnya melalui keterangan resmi di Jakarta, Senin (20/1/2020).
Inas menjelaskan, sebelumnya mafia migas diduga melakukan mark up harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis RON88 atau premium sebesar 2,5 dolar AS per barel.
Karena itu, lanjutnya, formula harga dari BBM RON88 tersebut dibuat menguntungkan peserta tender bensin premium.
"Bensin premium yang harganya adalah RON92 senilai 0,50 dolar AS, sedangkan sekarang RON92 sebesar 2,5 dolar AS. Dari formula tersebut cukup jelas bahwa ternyata dulu formula harga bensin premiun di mark up 2 dolar AS per barel," katanya.
Menurut Inas, keberadaan mafia migas itu disebabkan adanya dukungan peraturan dan dukungan birokrasi dari pejabat yang berwenang.
"Apakah sekarang ini masih ada peraturan dan dukungan tersebut? Kenapa tidak diberangus?" tutur dia.
Sementara, ia menambahkan, kalau mafia migas yang dulu memang sangat jelas dengan mencermati saja aturan dan formula harganya.
"Dulu aturannya dibuat agar tender dilakukan di luar wilayah hukum Indonesia. Dilakukan oleh perusahaan asing, walaupun sahamnya milik Pertamina," pungkas Inas.