Ombudsman Surati Presiden Minta Perjelas Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Ombudsman meminta Presiden memperjelas batasan dan kriteria dalam penempatan pejabat struktural dan fungsional aktif sebagai komisaris BUMN.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengirimkan surat tertulis berupa saran perbaikan kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo terkait polemik rangkap jabatan dan rangkap penghasilan Komisaris BUMN.
Dalam suratnya, ORI meminta agar Presiden RI segera menerbitkan Peraturan Presiden untuk memperjelas batasan dan kriteria dalam penempatan pejabat struktural dan fungsional aktif sebagai komisaris BUMN.
Anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih juga meminta Presiden memerintah Menteri BUMN untuk melakukan perbaikan terhadap Peraturan Menteri BUMN yang sekurang-kurangnya mengatur secara lebih jelas mengenai penetapan kriteria calon komisaris.
"Sumber Bakal Calon, Tata Cara Penilaian dan Penetapan, Mekanisme serta Hak dan Kewajiban Komisaris di BUMN dan akuntabilitas kinerja para komisaris BUMN.
Baca: Adian Napitupulu Bantah Minta Jatah Komisaris BUMN ke Erick Thohir
“Selanjutnya saran Ombudsman adalah agar Presiden melakukan evaluasi cepat dan memberhentikan para Komisaris Rangkap Jabatan yang terbukti diangkat dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Alamsyah dalam konferensi pers daring pada Selasa (4/8/2020) di Kantor Ombudsman, Jalan HR Rasuna Said Jakarta Selatan.
Baca: Ombudsman Ungkap Ada 397 Komisaris BUMN Rangkap Jabatan pada Tahun 2019
Saran perbaikan tersebut merupakan hasil assesmen dan pemantauan Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas sebagai pengawas BUMN dan BLU yang dilakukan sejak tahun 2017.
Selanjutnya pada tahun 2020 ini, Ombudsman RI telah melakukan inisiatif pemeriksaan dengan memanggil Kementerian BUMN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan BPKP, juga berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan melakukan pembahasan bersama KPK.
Dari permintaan keterangan diperoleh temuan sementara bahwa sampai dengan tahun 2019 ada 397 Komisaris pada BUMN dan 167 Komisaris pada anak perusahaan BUMN terindikasi rangkap jabatan dan rangkap penghasilan.
Alamsyah Saragih menjelaskan, berdasarkan analisis Ombudsman bersama KPK terhadap data 2019, dilakukan profiling terhadap 281 komisaris yang masih aktif di instansi asal.
Berdasarkan jabatan, rekam jejak karir dan pendidikan ditemukan sebanyak 91 komisaris (32%) berpotensi konflik kepentingan dan 138 komisaris (49%) tidak sesuai kompetensi teknis dengan BUMN dimana mereka ditempatkan.
Ombudsman menyimpulkan, bahwa terjadi sejumlah potensi maladministrasi rangkap jabatan pada komisaris BUMN disebabkan adanya benturan regulasi akibat batasan yang tidak tegas sehingga menyebabkan penafsiran yang berbeda dan cenderung meluas, serta adanya pelanggaran terhadap regulasi yang secara eksplisit telah mengatur pelarangan rangkap jabatan.
Di samping itu, Alamsyah mengatakan bahwa dalam rangkap jabatan telah menyebabkan rangkap penghasilan dengan nomenklatur honor dan gaji. Hal ini menyebabkan penerapan prinsip imbalan berdasarkan “beban tambahan (incremental)” menjadi tidak akuntabel dan menimbulkan ketidakadillan.
Ombudsman juga menyoroti proses rekrutmen BUMN berdasarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor 2 Tahun 2015 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN masih terdapat kelemahan seperti, potensi konflik kepentingan dalam penjaringan, potensi ketidakadilan proses dalam penilai persyaratan materiil sehingga mempengaruhi Akuntabilitas Kinerja Komisaris BUMN.
Sementara itu, terhadap perkembangan dan pelaksanaan saran perbaikan tersebut, Alamsyah mengatakan Ombudsman RI akan melakukan pemantauan perkembangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Ombudsman juga akan melanjutkan reviu administratif terhadap proses rekrutmen Komisaris yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan KementerianBUMN,” Alamsyah menegaskan.