Praktisi Hukum: Maraknya Kasus Pailit Bikin Rugi Pengembang Properti dan Konsumen
Praktisi Hukum dari Lembaga Advokasi Properti Indonesia Erwin Kallo mengatakan, hal ini karena pembeli tidak tahu asal-muasal kepailitan.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah memukul sektor properti begitu keras hingga menyebabkan beberapa pengembang mengalami kesulitan finansial dan mengajukan gugatan pailit.
Namun, langkah pengembang yang mempailitkan diri atau digugat pailit justru merugikan pembeli properti atau konsumen.
Merekalah pihak pertama yang sangat dirugikan dari kepailitan tersebut.
Praktisi Hukum dari Lembaga Advokasi Properti Indonesia Erwin Kallo mengatakan, hal ini karena pembeli tidak tahu asal-muasal kepailitan.
Baca: Pasarkan Asuransi Kendaraan Bermotor dan Properti, Jasindo Gandeng Blibli
Baca: Pasar Properti Diyakini Bergairah, Developer Asal Jepang Lanjutkan Proyek Superblok di Jakarta Timur
"Mereka tidak tahu apa-apa, tiba-tiba muncul pailit," ujar Erwin dalam webinar virtual, Jumat (18/9/2020)
Oleh karena itu, pembeli properti perlu ditempatkan sebagai kreditur preferens, bukan konkuren.
Perlu diketahui, kreditur preferens merupakan kreditur yang didahulukan karena sifat piutangnya (hak istimewa). Sedangkan, kreditur konkuren tidak memegang hak jaminan kebendaan.
Penempatan konsumen sebagai kreditur preferens disebabkan mereka sama sekali tidak terlibat dalam suatu pembangunan proyek yang dibeli tersebut.
Kepercayaan konsumen perlu dijaga dengan baik oleh pengembang agar tidak memunculkan sifat kecewa yang berimbas pada penjualan proyek properti.
"Kalau sudah terjadi distrust (ketidakpercayaan), ya sudahlah, kami tidak mau beli lagi-lah, (konsumen) beli yang sudah jadi saja," tutur Erwin.
Selain konsumen properti, bank, dan pengembang juga turut dirugikan dengan kepailitan tersebut.
Menurut Erwin, bank dirugikan karena memiliki peran sentral dalam bisnis properti. Sebab, hampir 80 persen konsumen properti mengandalkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun Kredit Pemilikan Apartemen (KPA).
Bank dirugikan dari kepailitan suatu pengembang karena tak dapat bertindak sebagai kreditur separatis jika suatu proyek belum memiliki hak tanggungan. Dalam hal ini, hak tanggungan tersebut berupa sertifikat bangunan.
Pada kenyataannya, imbuh Erwin, pengeluaran sertifikat high-rise building atau apartemen membutuhkan waktu yang cukup lama karena banyak ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan.
Oleh karena itu, memitigasi risiko kepailitan harus dipercepat dengan proses sertifikasi bangunan untuk perlindungan pada bank maupun konsumen.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pengembang Pailit, Konsumen Jadi Pihak yang Paling Dirugikan"