Percepat Transformasi Energi Fosil ke Terbarukan, Energi Air Bisa Menjadi Solusi Alternatif
Penggunaan energi air untuk listrik sangat penting untuk mitigasi perubahan iklim dan mencapai penurunan emisi karbon.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Johnson Simanjuntak
Menurut Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan, Indonesia punya energi terbarukan yang sangat lengkap. Ada air, panas bumi, matahari, angin, laut, hingga hutan bio energi, dan sebagainya.
“Sayangnya, pemanfaatan energi terbarukan ini belum maksimal, karena kita masih banyak memakai energi fosil,” ungkap Surya.
Agar maksimal, ia menyarankan pemerintah untuk memberikan perlakuan yang sama. Artinya, kalau pemerintah memberikan subsidi pada sektor energi lain, maka pemanfaatan energi terbarukan juga harus disubsidi.
"Apalagi, energi terbarukan itu bersih dan dapat menurunkan emisi karbon, bisa berkelanjutan, bahkan tidak akan habis kalau dipakai,” tambah dia.
Diakui Surya, sebenarnya ada hal positif yang telah dilakukan pemerintah terkait energi terbarukan.
Indonesia sudah punya Kebijakan Energi Nasional, yang di dalamnya disebutkan bahwa tahun 2025, energi terbarukan minimal harus 23%. Artinya, ada target yang harus dicapai pemerintah.
“Selain itu, hal positif lainnya adalah pemerintah ikut menandatangani Paris Agreement, yang di dalamnya jelas menyebutkan bahwa harus menurunkan emisi, salah satunya adalah menggunakan energi yang bersih. Itu artinya, harus menggunakan energi terbarukan,” ungkap Surya.
Sementara itu, seluruh dunia telah sepakat dalam Paris Agreement di COP ke-21 pada 2015 untuk setiap negara menurunkan emisi karbonnya bagian dari mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Indonesia memiliki komitmen nasional berkontribusi, dengan salah satunya melalui target 23% energi terbarukan dari total campuran energi primer nasional pada tahun 2025.
Kini dampak perubahan iklim makin nyata dirasakan. Pada akhir tahun ini PBB melaporkan bahwa perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi, intensitas, dan tingkat keparahan bencana cuaca.
Selama 50 tahun terakhir, dunia telah menyaksikan lebih dari 11.000 bencana terkait cuaca yang telah menyebabkan sekitar dua juta kematian dan kerugian ekonomi global senilai USD 3,6 triliun.