INDEF: Kenaikan Harga Kedelai Memukul Kelas Menengah ke Bawah
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga kedelai berdampak buruk pada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga kedelai berdampak buruk pada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Dampak buruk ini tidak hanya akan dirasakan pelaku usaha yang memanfaatkan tempe dan tahu sebagai bahan baku produk mereka, namun juga masyarakat yang biasa mengkonsumsi produk hasil fermentasi itu.
"Kenaikan harga bahan baku tempe tahu tentu akan memukul kelas menengah ke bawah," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Minggu (3/1/2021).
Perlu diketahui, tempe dan tahu merupakan produk olahan kedelai kaya protein.
Sejak pandemi virus corona (Covid-19) berdampak buruk pada perekonomian global termasuk Indonesia, konsumsi masyarakat pun beralih ke tempe dan tahu.
Karena dua makanan khas lokal ini memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan daging.
"Secara umum tempe dan tahu jadi kebutuhan protein penting, apalagi dalam kondisi resesi ekonomi dan angka kemiskinan naik, yang biasa beli telur, ayam dan daging sapi bergeser ke membeli tempe tahu," jelas Bhima.
Menurut Bhima, ekonomi masyarakat akan semakin jatuh di masa pandemi ini, jika produsen tempe berhenti produksi, kemudian harga tempe dan tahu melambung.
"Kalau sampai naik tinggi harga di pasaran dan produsen tempe tahu stop produksi, itu sangat berisiko bagi ekonomi masyarakat," kata Bhima.
Harga Kedelai Naik, Tempe Langka di Pasaran, Ini Kata Indef
Bhima Yudhistira menilai ada beberapa faktor yang mendorong naiknya harga kedelai sehingga berdampak pada kelangkaan tempe di pasaran.
Yang pertama adalah terbatasnya pasokan ini dari sejumlah negara pengekspor, seperti Argentina dan Brasil.
Kemudian stok komoditas satu ini pun semakin menipis di Amerika Serikat (AS).