Produksi Kelapa Sawit Indonesia Kalah dari Malaysia, Ini Penyebabnya
Untuk mengatasi tantangan yang dihadapi di sektor hulu sawit, pemerintah sudah menyiapkan program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN) Ubaidi Socheh Hamidi mengatakan, dalam lima tahun terakhir produksi kelapa sawit Indonesia dua kali lebih rendah dari Malaysia.
Menurutnya, hal itu akibat banyak lahan sawit yang belum matang, perawatan dan penggunaan pupuk yang belum optimal serta dukungan pemerintah bagi petani plasma.
“Ada beberapa tantangan di sektor hulu yaitu keterbatasan lahan dan moratorium perluasan lahan, kesejahteraan pekebun mandiri termasuk isu sengketa lahan, deforestasi dan degradasi lahan. Ini adalah tantangan yang harus dimitigasi risikonya terutama dalam pembuatan kebijakan,” kata Ubaidi dalam diskusi Katadata Virtual Forum Series dengan tema Dampak Ekonomi Sawit bagi Daerah, Kamis (28/1/2021).
Ubaidi menambahkan, untuk mengatasi tantangan yang dihadapi di sektor hulu sawit, pemerintah sudah menyiapkan program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Program BPDPKS antara lain pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit dan penyedian dan pemanfaatan bahan bakar nabati.
Baca juga: Soal Kampanye Anti Produk Sawit Indonesia di Swiss, Ini Respons Kemendag
Ubaidi berharap program tersebut mampu meningkatkan kinerja sektor sawit Indonesia, menciptakan pasar domestik, menyerap kelebihan CPO di pasar dalam rangka stabilisai harga dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Program OfficerCenter Tata Kelola Sawit Madani Berkelanjutan Trias Fetra mengatakan, penggunaan dana perkebunan sawit belum memberikan kesejahteraan bagi petani sawit.
Trias menjelaskan dari Rp11 triiliun dana sawit, sekitar 80 persen digunakan untuk subsidi biodiesel.
Hal itu berujuan agar produksi biodiesel meningkat sehingga mampu menyerap produksi CPO sehingga mampu mendongkrak harga CPO dan implikasi lainnya meningkatkan harga tandan buah segar sawit.
“Namun, berdasarkan hasil analisis input output, penggunaan dana sawit untuk subsidi biodiesel tidak memberikan nilai manfaat besar terhadap keseimbangan faktor produksi dibanding menggunakannya untuk program yang berkaitan langsung dengan perkebunan sawit,” jelasnya.
Baca juga: RI-Kamboja Kerja Sama Tolak Kampanye Negatif Komoditas Sawit
Trias menambahkan, kebijakan penggunaan dana sawit untuk subsidi biodiesel bisa dikatakan gagal.
Karena, nilai tukar petani perkebunan rakyat tidak meningkat kecuali pada 2017.
Padahal, apabila dana tersebut digunakan sepenuhnya untuk sawit maka akan terjadi peningkatan pertumbuhan output pada sektor produksi perkebunan sawit sekitar 6,52 persen.
Trias juga mengungkapkan tentang minimnya alokasi anggaran daerah untuk petani sawit.
Berdasarkan data pada 2020, provinsi Riau mengalokasikan 66 persen anggaran di Dinas Perkebunan tidak spesifik digunakan untuk alokasi langsung pada peningkatan kesejahteraan petani sawit.
Padahal, Riau merupakan provinsi dengan tutupan sawit terbesar di Indonesia.
“Kondisi petani sawit kita masih jauh dari sejahtera. Dalam tata niaga industri ini, petani sawit masih dikebiri, dana sawit yang harusnya untuk mereka dikooptasi oleh korporasi dan petani sawit juga belum menjadi prioritas terkait anggaran di daerah,” jelasnya.