Butuh Waktu untuk Temukan Solusi Atasi Gejolak Baru Harga Kedelai di Pasar
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, kebutuhan impor kedelai sepanjang 2021 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton.
Editor: Choirul Arifin
Sementara, soal rendahnya minat petani menanam kedelai, dikatakan Ketum Gakoptindo Aip Syarifuddin disebabkan oleh faktor rendahnya yield yang didapat petani jika mereka membudidayakan kedelai.
Sehingga tingginya harga kedelai sejatinya memang diakibatkan oleh keterbatasan pasokan yang berasal dari dalam negeri, serta tingginya kebutuhan di sejumlah negara importir besar seperti Tiongkok.
Aip menyebut lahan dengan tanaman kedelai seluas 1 hektare di Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,5 ton – 2,5 ton kedelai, atau rata-rata 2 ton per hektare.
Sementara harga jual selama ini masih tertekan di kisaran Rp8.000 per kg akibat standardisasi produk kedelai lokal yang belum terpenuhi oleh petani.
“Kita mau beli, tapi harus bersih seperti kedelai impor. Jangan ada daun, batang, tanah, dan sebagainya,” kata Aip.
Tingkat income yang didapat petani kedelai untuk 1 hektare lahan pun masih jauh lebih rendah jika mereka membudidayakan komoditas di luar kedelai, seperti padi dan jagung.
Jika hasil produksi rata-rata 2 ton dengan harga Rp 8.500 per kilogramnya, maka para petani kedelai hanya menikmati income Rp17 juta untuk periode 100 hari tanam.
Sementara jika mereka menanam padi, bisa dihasilkan beras sekira 5-6 ton, dengan income sebesar Rp 50 juta sampai Rp 60 juta.
“Jadi ini memang harus diawali oleh program pemerintah. Kementerian pertanian bisa mencari lahan, dan ditanami kedelai, sehingga nantinya bisa diciptakan soy estate. Dan berikutnya besaran impor bisa ditekan secara perlahan,” kata Aip.
Sekedar catatan, di akhir tahun 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kenaikan harga kedelai impor telah memberikan kontribusi pada inflasi produk tahu dan tempe.
Masing-masing mengalami inflasi sebesar 0,06% dan 0,05% secara bulanan (month to month/mtm).