Selain Tak Ada Bunga Cicilan, Apa Beda KPR Syariah dan Konvensional?
Harga properti jenis rumah tapak juga terus mengalami peningkatan yang luar biasa, khususnya di wilayah Jabodetabek
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebutuhan akan hunian terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk yang bertambah.
Namun, harga properti jenis rumah tapak juga terus mengalami peningkatan yang luar biasa, khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Bahkan, kenaikan harga properti juga terjadi di sejumlah kota-kota besar di Indonesia.
Impian masyarakat yang ingin memiliki hunian tetap, harus terganjal dengan harga rumah yang menurut banyak kalangan lumayan tinggi.
Ketika dana tidak cukup, maka Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah solusinya.
Baca juga: Hingga April 2021, KPR Subsidi BTN Tembus 31 Ribu Unit
Saat ini terdapat dua jenis KPR, yakni KPR Konvensional dan KPR Syariah. Hadirnya dua jenis KPR ini dapat menjadi opsi masyarakat untuk memiliki hunian impiannya.
Proses transaksi
Lantas, apa perbedaan KPR Konvensional dan KPR Syariah? KPR Syariah adalah metode pembiayaan rumah yang mengadopsi sistem jual-beli syariah, metode tersebut bebas dari bunga dan riba.
KPR Konvensional dan KPR Syariah terlihat jelas perbedaannya pada proses transaksinya.
Baca juga: Bank Syariah Indonesia Salurkan Pembiayaan KPR Rp 38 Triliun di Triwulan I 2021
Seperti dikutip Rumah.com, apabila KPR konvensional melakukan transaksi uang, maka KPR syariah bertransaksi dengan prinsip jual-beli (murabahah).
Dalam transaksi tersebut, bank syariah seolah-olah membeli rumah yang diinginkan nasabah (dalam hal ini konsumen), dan kemudian menjualnya dengan cara dicicil.
Baca juga: Jababeka dan PP Properti Kembangkan Kawasan Hunian Berkonsep Little Tokyo
KPR di bank syariah juga tidak mengenakan bunga. Tetapi, bank mengambil margin keuntungan dari harga jual rumah.
Sebagai ilustrasi, apabila nasabah hendak membeli rumah dengan harga Rp500 juta, maka pihak perbankan syariah akan membeli rumah tersebut dan menjual kepada nasabah, dengan mengambil margin keuntungan Rp100 juta.
Maka, nasabah tersebut akan mencicil selama masa tenor tertentu untuk sejumlah Rp 600 juta, dikurangi jumlah uang muka (down payment/DP).