Menkeu Sri Mulyani Beberkan Perbedaan Tax Amnesty Jilid II dengan Tahun 2016 Lalu
Menkeu menyampaikan pengampunan pajak yang diagendakan oleh pemerintah bukan seperti tax amnesty pada tahun 2016 lalu.bedanya dimana?
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengatakan pemerintah berencana akan menggelar tax amnesty jilid II tahun depan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan asal muasal program tersebut.
Menkeu menyampaikan pengampunan pajak yang diagendakan oleh pemerintah bukan seperti tax amnesty pada tahun 2016 lalu. Namun sama-sama merupakan pengampunan pajak.
Baca juga: Misbakhun Sarankan agar Menkeu Benahi Cara Pemungutan Pajak Ketimbang Naikkan PPN
Sri Mulyani bilang berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, pemerintah akan meningkatkan kepatuhan para wajib pajak.
Berbekal data Automatic Exchange of Information (AEoI) dan akses informasi wajib pajak sejak 2018, pemerintah akan menindaklanjuti kepatuhan pajak para peserta tax amnesty lima tahun lalu.
Baca juga: Pemerintah Kembali Gulirkan Tax Amnesty, Misbakhun : Sri Mulyani Tak Bisa Diharapkan Lagi
“Dari sana terhadap beberapa ribu wajib pajak kita akan follow-up dan kita pasti akan menggunakan pasal-pasal dalam tax amnesty,” kata Menkeu Sri Mulyani saat Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (24/5).
Lebih lanjut, Menkeu menyebut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 pemerintah berencana akan memberikan kesempatan bagi wajib pajak yang belum patuh untuk program pengungkapan aset sukarela (PAS) dengan tarif pajak penghasilan (PPh) Final.
Setali tiga uang, beleid tersebut juga mengisyaratkan melalui program PAS wajib pajak membayar PPh terutang dan mendapatkan keringanan sanksi administrasi.
“Dan oleh karena itu, kita akan lebih berfokus ke bagaimana meningkatkan compliance tanpa menciptakan perasaan ketidakadilan yang akan terus kita jaga, baik dalam kerangka tax amnesty atau dari sisi compliance facility yang kita berikan, sehingga masyarakat punya pilihan agar mereka lebih comply,” ujar Menkeu seperti dilansir dari KONTAN.
Menkeu menekankan, program pengampunan pajak yang akan diusulkan mengarahkan pada penghentian tuntutan pidana menjadi pembayaran sanksi administrasi. Sehingga, fokus pengampunan pajak kepada penerimaan negara.
Sebagai catatan, tahun depan penerimaan perpajakan ditargetkan tumbuh 8,37 persen hingga 8,42 persen dari outlook akhir tahun 2021. Secara nominal angka tersebut setara dengan Rp 1.499,3 triliun-Rp 1.528,7 triliun.
Pemerintah Kembali Gulirkan Tax Amnesty, Misbakhun : Sri Mulyani Tak Bisa Diharapkan Lagi
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyambut positif rencana pemerintah menggulirkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II, karena dapat menutup kekurangan penerimaan pajak dan membantu dunia usaha.
Misbakhun menjelaskan, pimpinan DPR telah menerima surat presiden perihal kebijakan tax amnesty yang dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (RUU KUP).
Menurutnya, RUU itu telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
"Saya mendukung penuh inisiatif atau rencana pemerintah kembali mengadakan tax amnesty yang dikonsepkan dalam RUU KUP. Saya yakin kebijakan itu bisa menutupi lubang shortfall penerimaan pajak rutin di APBN," ujar Misbakhun, Jumat (21/5/2021).
Baca juga: Tax Amnesty Kedua Diyakini Bakal Punya Efek Ganda ke Pemulihan Ekonomi RI
"Saya punya keyakinan tax amnesty kedua adalah big bang tax incentive bagi dunia usaha dan para pengusaha untuk keluar dari resesi akibat pandemi," sambung politikus Golkar itu.
Baca juga: Soal Wacana Tax Amnesty Jilid II, DPR Akan Kaji dan Dengar Masukan Publik
Namun, Misbakhun juga memberikan catatan bagi rencana tax amnesty jilid II berdasarkan pengalaman pemerintah melaksanakan tax amnesty pertama pada 2016.
Baca juga: Ekonom Ingatkan Tax Amnesty Jilid II Bisa Jadi Ancaman Bagi Penerimaan Negara
Ia menyebut, tax amnesty jilid II harus didukung sosialisasi yang gencar, durasi pelaksanaannya lebih panjang, dan didukung regulasi yang lebih sederhana.
"Yang penting, instrumennya harus lebih bisa diimplementasikan peserta tax amnesty," katanya.
Kedua, kata Misbakhun, salah satu masalah penting yang juga harus dituntaskan dalam program tax amnesty kedua ialah piutang pajak sangat besar yang tidak bisa ditagih.
"Persoalan itu harus dibuatkan konsep penyelesaiannya lewat program tax amnesty kedua nanti," paparnya.
Lebih lanjut Ia menilai, program pengampunan pajak jilid II sebenarnya merupakan pilihan sulit bagi Presiden Jokowi yang menanggung ketidakmampuan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam menaikkan tax ratio dan penerimaan dari sektor perpajakan.
"Tax amnesty ini menjadi exit strategy yang dipilih Presiden Jokowi ketika kinerja menteri keuangan di sektor perpajakan tidak bisa diharapkan lagi," kata Misbakhun.
Legislator PKS: Tax Amnesty Jilid I Apa Kabarnya?
Agenda pengampunan pajak atau Tax Amnesty (TA) jilid II akan segera digulirkan. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang mengatakan bahwa pemerintah segera membahas aturan tax amnesty terbaru.
Airlangga mengungkapkan aturan mengenai pengampunan pajak itu termasuk dalam materi di Revisi Undang-Undang (UU) 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). Tax Amnesty jilid kedua itu diharapkan segera disetujui oleh legistlatif sebab revisi UU KUP telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2021.
Baca juga: Legislator NasDem: Berhentilah Memanjakan Para Pengusaha dengan Kebijakan Tax Amnesty
Terkait dengan hal ini, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Anis Byarwati, mempertanyakan tentang kebijakan tax amnesty yang pernah dikeluarkan pemerintah pada tahun 2016.
"Tax amnesty jilid I bagaimana kabarnya?" tanya Anis, ketika dihubungi Tribunnews.com, Minggu (23/5/2021).
Anis menjelaskan ketika kebijakan tax amnesty ini dirancang, Pemerintah memiliki tiga sasaran utama. Pertama, kebijakan ini dapat menambah pendapatan perpajakan di Indonesia sehingga dapat sedikit menutup defisit anggaran.
Baca juga: Pemerintah Kembali Gulirkan Tax Amnesty, Misbakhun : Sri Mulyani Tak Bisa Diharapkan Lagi
Kedua, kebijakan ini dapat menarik dana dari luar negeri. Dan ketiga, kebijakan ini diharapkan dapat memperluas basis perpajakan di Indonesia yang pada akhirnya dapat meningkatkan tax ratio Indonesia.
Terkait dengan sasaran pertama, Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengatakan Pemerintah menargetkan tambahan pendapatan pajak sebesar Rp165 triliun dari kebijakan ini. Bahkan, pada awalnya angka Rp165 triliun merupakan tambahan pendapatan perpajakan untuk tahun 2016.
Akan tetapi, target tersebut dijadikan target selama program pengampunan pajak berjalan. Angka terakhir menunjukkan bahwa jumlah uang tebusan yang masuk hanya sebesar Rp 135 Triliun atau sebesar 81% dari target yang sudah dicanangkan.
“Melesetnya target tersebut tentu berimplikasi ke APBN yang sedang berjalan. Apabila angka tersebut sudah dimasukkan sebagai target pendapatan, maka ketika tidak tercapai, kekurangan sebesar Rp 30 triliun harus ditambal, baik melalui penambahan defisit (utang) maupun mengurangi pos belanja,” kata Anis.
Baca juga: Tax Amnesty Kedua Diyakini Bakal Punya Efek Ganda ke Pemulihan Ekonomi RI
Mengenai sasaran kedua, Anis mengingatkan bahwa pada berbagai kesempatan, Pemerintah selalu menyatakan bahwa kebijakan pengampunan pajak ini penting untuk menarik dana-dana orang Indonesia yang disimpan di luar negeri.
Pada awalnya Pemerintah menyatakan bahwa terdapat Rp11.000 triliun dana yang tersimpan di luar negeri. Angka ini diturunkan, sehingga mendekati perkiraan illicit fund Indonesia yang dihitung oleh World Bank, yaitu sebesar Rp4.000 Triliun.
Data terakhir menunjukkan bahwa dana repatriasi hanya mencapai Rp147 triliun, atau hanya sekitar 4 persen dari potensi yang ada. Rendahnya dana repatriasi disebabkan oleh sejumlah hal. Pertama, waktu yang diperlukan untuk mencairkan aset yang berbentuk fisik. Kedua, tarif repatriasi dan deklarasi luar negeri hanya selisih 1-2 persen.
“Hal tersebut menjadi insentif seseorang untuk sekedar mendeklarasikan asetnya di luar negeri, tanpa perlu membawa dana tersebut kembali ke Indonesia,” papar Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI itu.
Tentang sasaran ketiga yaitu basis pajak, Anis menyatakan bahwa parameter ketiga ini pada dasarnya belum dapat dibuktikan, karena kita harus melihat tax ratio Indonesia pada tahun 2017 untuk melihat seberapa besar dampaknya.
"Akan tetapi perlu diingat, sejumlah penelitian empiris menunjukkan bahwa kebijakan tax amnesty tidak akan berpengaruh besar terhadap tax ratio,” ujarnya mengingatkan.
Politikus senior PKS ini kembali mengingatkan agar Pemerintah mempertimbangkan respon wajib pajak. Salah satu respon yang akan muncul adalah pembayar pajak yang patuh (honest tax payer) akan kecewa karena mereka tidak diuntungkan dari kebijakan ini, sehingga pada akhirnya menurunkan tingkat kepatuhan pajak di masa yang akan datang.
Selain kecewa, pembayar pajak yang jujur juga takut bahwa pendapatan negara yang hilang akibat tax amnesty akan menjadi beban pajak untuk mereka di masa yang akan datang.
"Hal ini bisa mendorong para pembayar pajak yang jujur untuk ikut melakukan pengemplangan. Dari sini kita dapat melihat bahwa sekarang justru bukan saat yang tepat untuk melakukan tax amnesty,” tegas Anis.
“Jangan sampai adanya TA jilid II ini membuat rakyat kembali tercederai rasa keadilannya. Sebagaimana pernah terjadi pada mayoritas masyarakat yang patuh membayar pajak, yang seolah diabaikan dengan kebijakan Tax Amnesty di tahun 2016 lalu,” pungkasnya.
sebagian artikel ini sudah tayang di KONTAN, dengan judul: Sri Mulyani sebut tax amnesty jilid II berbeda dengan tahun 2016 lalu