Pasar E-commerce Masih Bisa Terus Tumbuh, Konsumen Potensial di Pedesaan Belum Tergarap
Banyak investor melirik sektor marketplace di Indonesia untuk menarik konsumen karena peluang ekonominya sangat besar.
Penulis: Hendra Gunawan
Editor: Choirul Arifin
Pemain e-commerce tidak dapat menerapkan model bisnis B2C bagi pengguna di pelosok meski pola tersebut sukses di tempat lain.
Pria yang berpengalaman mengembangkan e-commerce di 30 negara itu juga melihat faktor kepraktisan membuat pemain besar tetap memprioritaskan eksistensi mereka di kota-kota tier-1 meski daya beli masyarakat perdesaan akan tumbuh hampir 50 persen.
Bagi pemain e-commerce, lebih mudah memanfaatkan dan meningkatkan jumlah infrastruktur yang telah mereka bangun. Artinya, akan ada banyak peluang bagi pelaku bisnis yang menyasar pasar rural.
Walau demikian, Kaya menilai ada teka-teki perdagangan elektronik di kawasan perdesaan yang harus diatasi. Sebab, tidak mudah menggarap pasar rural. “Jika semudah itu, sudah banyak pemain e-commerce yang melakukannya.”
Menurut Kaya, langkah pertama yang harus dilakukan ialah membaca dan memahami perilaku konsumen dan komunitas di perdesaan.
Perdagangan elektronik telah berevolusi dan mempunyai keterikatan kuat dengan rantai pasok e-commerce di Asia Tenggara, China tetap menjadi titik referensi untuk pemain e-commerce Indonesia.
Berpengalaman mengelola e-commerce di China, Kaya melihat social-commerce seperti Pinduoduo dan Shihuituan menjadi kunci bagi pemain e-commerce untuk mengatasi kesenjangan dan melompat dari industri ritel tradisional.
“Saya optimistis social-commerce dapat menjadi jalan untuk mengaktifkan komunitas perdesaan di Indonesia dalam perdagangan elektronik. Itulah sebabnya tim saya mencoba memperkenalkan model operasi perdagangan sosial ke komunitas perdesaan,” ungkap Kaya.
Social-commerce juga akan berbeda di Indonesia. Alasan pertama ialah faktor geografis dan logistik. China merupakan daratan besar yang terpusat.
Sementara Indonesia adalah negara kepulauan yang tersebar sehingga memicu tidak efisiennya rantai pasok dan berdampak pada tingginya biaya logistik.
Alasan kedua, infrastruktur. Walaupun berbagai usaha dalam e-commerce telah berinvestasi pada infrastruktur, Indonesia belum memiliki ekosistem teknologi terintegrasi seperti China.
Indonesia tidak mempunyai aplikasi super seperti WeChat. Banyak aplikasi social-commerce di China menyematkan beragam fitur pada platform WeChat. Ekosistem teknologi seperti ini tidak ditemui di Indonesia.
Meski China memiliki pondasi e-commerce yang kuat, Indonesia tidak dapat sepenuhnya mengadopsi bisnis model dari sana. “Perlu ada penyesuaian, terutama bagi perekonomian di pelosok Indonesia,” terang Kaya.
Tarik Rural ke Ritel