Indonesia Dinilai Perlu Berpegang Teguh Pada NDC untuk Membangun Ketahanan Iklim
Indonesia dinilai perlu berpegang teguh pada NDC atau Nationally Determined Contribution, untuk mengurangi mengurangi emisi karbon
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Indonesia dinilai perlu berpegang teguh pada NDC atau Nationally Determined Contribution, untuk mengurangi mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim.
Demikian disampaikan Program Director For Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN, Dewi Rizki. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan Indonesia agar komitmen menjaga suhu bumi benar-benar bisa diimplementasikan.
"Untuk mencapai NDC, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor," ujar Dewi dalam diskusi Komunitas Peduli Krisis Iklim, Kamis (18/11/2021).
Baca juga: Mengenal Ancaman Perubahan Iklim Global, Dampaknya Terhadap Bumi dan Upaya Penanggulangan
Dewi menegaskan pentingnya peran eperti masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, dan swastas.
"Agar apa yang direncanakan dalam NDC bisa berjalan. Kuncinya semua sektor harus dilibatkan,” tutur Dewi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan sektor energi masih tergantung pada batu bara.
"Batu bara juga masih menjadi sumber energi listrik utama," tuturnya.
Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Fabby menambahkan batu bara berkontribusi 40% pada emisi global.
Baca juga: Jakarta Puncaki Daftar Kota Paling Rentan Krisis Iklim
"Porsi ketergantungan pada batu bara ini jelas perlu dikurangi. Indonesia perlu melakukan transisi energi dari energi kotor ke energi hijau,” ujar Fabby.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menuturkan, Presiden Joko Widodo harus tegas untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan gambut tersisa Indonesia.
Hal tersebut, dilakukan untuk membantu Indonesia mencapai target net carbon sink FOLU 2030. Menurut Nadia, dibutuhkan kebijakan operasional dan sinergitas antar-program serta perencanaan pemerintah sampai level daerah.
Baca juga: Jakarta Puncaki Daftar Kota Paling Rentan Krisis Iklim
"Termasuk pentingnya koherensi antara kebijakan sektor FOLU (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) dan sektor energi terbarukan yang berbasis lahan," kata Nadia.
Selain itu, lanjut dia, Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang saat ini berfokus pada biodiesel dari minyak sawit mentah harus memiliki safeguards yang kuat.
"Agar tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal,” imbuh Nadia.