PSI Desak Pemerintah Segera Gelar Operasi Pasar Minyak Goreng
Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia meminta agar segera ada langkah serius menangani kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga minyak goreng mengalami kenaikan yang cukup tajam sejak akhir oktober hingga hari ini.
Dari harga curah per liter Rp 12-15 ribu, di beberapa wilayah sudah mendekati Rp20 ribu.
Minyak goreng kemasan per dua liter kini harganya Rp35-38 ribu dari sebelumnya Rp28-30 ribu.
Baca juga: Rencana Pelarangan Penjualan Minyak Goreng Curah, PKS: Hanya Untungkan Pelaku Usaha Besar
Kondisi ini sangat memberatkan masyarakat menengah bawah dan juga usaha kecil yang terkait makanan.
Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) meminta agar segera ada langkah serius menangani kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.
“Kami rasa sudah sangat mendesak bagi Kementerian Perdagangan dan Pemerintah Daerah untuk melakukan operasi pasar minyak goreng untuk meringankan beban hidup masyarakat dan usaha kecil,” ujar Juru Bicara DPP PSI, Kokok Dirgantoro dalam keterangannya, Kamis (25/11/2021).
Minyak goreng adalah satu dari Sembilan bahan pokok (Sembako).
Keberadaannya sangat penting untuk penyediaan pangan masyarakat.
Baca juga: Harga Telur dan Minyak Curah di Pasar Ciawi Bogor Melambung, Pedagang Menjerit
Sebagai bagian dari sembako, perlu ada mekanisme kebijakan agar harganya stabil di masyarakat dan tidak menjadi bagian pemicu inflasi.
Pada Oktober lalu, Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami inflasi 0.12 persen, salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga minyak goreng yang memberikan dampak 0,05 persen.
“Dalam kondisi ekonomi yang cukup menantang dan terimbas pandemi, pemerintah harus memikirkan perekonomian masyarakat bawah. Pedagang gorengan, pemilik warteg, pedagang ketoprak, pedagang nasi goreng, dan lain-lain semua terdampak. Demikian juga masyarakat menengah bawah. Mereka mengalami dampak langsung dari tingginya harga minyak goreng yang kemudian dampak ikutannya adalah berkurangnya margin pendapatan dan meningkatnya pengeluaran keluarga," papar Kokok.
Kokok menambahkan pemerintah melakukan berbagai pengetatan pembatasan mobilitas untuk menangani pandemi.
Mobilitas masyarakat berbanding lurus dengan pendapatan. Semakin dibatasi, semakin pendapatan stagnan atau turun.
“Dalam penanganan pandemi, terkait pembatasan mobilitas, perlu pula dipikirkan kebijakan-kebijakan untuk meringankan beban masyarakat seperti operasi pasar. Jangan saat pendapatan belum stabil, lalu ada pembiaran kenaikan harga sembako,” tuturnya.
Baca juga: Johan Rosihan Desak Pemerintah Atasi Lonjakan Harga Minyak Goreng
Kokok mengatakan Indonesia memiliki 14,6 juta hektar lahan sawit dan mampu menghasilkan 50 juta ton CPO bahkan lebih setiap tahun.
Indonesia adalah penghasil CPO terbanyak di dunia dan pemilik lahan sawit terluas di dunia. Ekspor turunan dari Kelapa Sawit juga memberikan devisa terbesar untuk Indonesia.
“Jangan gunakan kenaikan harga minyak goreng dunia sebagai satu-satunya alasan kenaikan harga minyak domestik. RI memiliki lahan dan produksi terbanyak di dunia. Jangan sampai masyarakat Indonesia jadi seperti ayam yang mati di lumbung padi,” pungkasnya.