Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Buruh Desak Empat Peraturan Pemerintah di UU 11/2020 Cipta Kerja Dibatalkan

Mirah menegaskan Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah turunannya mempermudah terjadinya pemutusan hubungan kerja

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Buruh Desak Empat Peraturan Pemerintah di UU 11/2020 Cipta Kerja Dibatalkan
Larasati Dyah Utami
Ribuan buruh demo di depan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat pada Kamis (25/11/2021) tuntut pembatalan UU Cipta Kerja dan Naikkan Upah Minimum 2022 sebesar 7-10%, serta pencabutan SE Menaker RI terkait penetapan upah. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mendesak Peraturan Pemerintah yang terlanjur diterbitkan dan berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk dibatalkan.

Ada empat PP yang diminta untuk dibatalkan antara lain PP No.34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (PP TKA), PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK), PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dan PP No.37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (PP JKP).

"Keempat PP tersebut berdampak pada hilangnya jaminan kepastian pekerjaan, jaminan upah dan jaminan sosial, yang sebelum adanya UU Cipta Kerja telah diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," ucap Mirah dalam pernyataannya, Jumat (26/11/2021).

Mirah menegaskan Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah turunannya mempermudah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Kemudahan PHK akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran, melemahnya daya beli, menurunnya angka konsumsi rumah tangga yang berujung pada penurunan perputaran ekonomi nasional dan mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi nasional," tuturnya.

Baca juga: UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat Dinilai Bikin Ketidakpastian Investasi di RI Makin Tinggi 

Upah minimum juga termasuk kebijakan strategis dan berdampak luas karena mayoritas pekerja formal adalah pekerja penerima upah minimum.

BERITA REKOMENDASI

Mirah juga mengingatkan Pemerintah untuk lebih berpihak kepada rakyat, apalagi setelah Hakim MK juga telah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. 

"Ini membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah bertindak ceroboh dalam proses pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja," pungkas Mirah.

Menurut dia, putusan dan perintah Mahkamah Konstitusi kepada para pembuat undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan DPR sudah sangat jelas yaitu menangguhkan kebijakan yang bersifat strategis dan tidak menerbitkan peraturan baru.

Ribuan buruh yang tergabung dalam aliansi KSPI, KSPSI, SPSI menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (25/11/2021).
Ribuan buruh yang tergabung dalam aliansi KSPI, KSPSI, SPSI menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (25/11/2021). (Danang Triatmojo)

UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat

Uji materi omnibus law Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuahkan hasil positif. Omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja diputuskan inkonstitusional.


Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.

Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang uji formil UU 11/2020 Cipta Kerja yang disiarkan secara daring, Kamis (25/11/2021).

"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Anwar.

Baca juga: UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat Dinilai Bikin Ketidakpastian Investasi di RI Makin Tinggi 

Adapun dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi.

Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.

Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap subtansi UU. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.

Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja inkostitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.

Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkostitusional bersyarat secara permanen.

Selain itu, Mahkamah menyatakan seluruh UU yang terdapat dalam omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.

Baca juga: UU Cipta Kerja Dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat, Beri Efek Negatif ke Investor Asing 

Anwar pun menyebut bahwa pihaknya juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dari omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja. Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

"Menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan Undang-Undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," ucap Anwar.

Perkara itu diajukan oleh lima penggugat terdiri dari seorang karyawan swasta bernama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, seorang pelajar bernama Novita Widyana, serta 3 orang mahasiswa yakni Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana, dan Ali Sujito.

Sebagai pemohon I uji materi omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja , Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas khawatir berlakunya UU Cipta kerja dapat menghapus ketentuan aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Baca juga: UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat Dinilai Bikin Ketidakpastian Investasi di RI Makin Tinggi 

Kerugian hak konstitusional Hakiimi antara lain seperti terpangkasnya waktu istirahat mingguan, menghapus sebagian kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh, menghapus sanksi bagi pelaku usaha yang tidak bayar upah.

Kemudian, pemohon II uji materi omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja yakni Novita Widyana yang merupakan pelajar, merasa dirugikan karena setelah lulus ia berpotensi menjadi pekerja kontrak tanpa ada harapan menjadi pekerja tetap.

Sementara itu, pemohon III, IV, dan V yang merupakan mahasiswa di bidang pendidikan Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana dan Ali Sujito merasa dirugikan karena sektor pendidikan masuk dalam omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja. Mereka menilai dengan masuknya klaster pendidikan di omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja bisa membuat pendidikan menjadi ladang bisnis.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas