Perbedaan Harga Batubara Jadi Masalah, Sejumlah Perusahaan Adaro Terimbas Larangan Ekspor
Pelarangan ekspor batubara bakal menyebabkan penghasilan produsen batubara bakalan menciut dalam jumlah besar.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pelarangan ekspor batubara bakal menyebabkan penghasilan produsen batubara bakalan menciut dalam jumlah besar.
Pasalnya, saat ini ekspor menjadi andalan para penambang bahan bakar utama pembangkit tenaga listrik tersebut.
Bagaimana tidak, perbedaan harga batubara untuk kebutuhan PLN dengan untuk ekspor cukup tinggi.
Meski demikian, pemerintah mewajibkan para pengusaha pertambangan batubara untuk mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dengan harga internasional dinilai sebagai penyebab masalah pasokan pada PLTU PLN dan IPP.
Permasalahan ini akhirnya membuat pemerintah melarang ekspor terhitung mulai 1 Januari hingga 31 Januari 2022.
Baca juga: Larangan Ekspor Batubara, Kapal Dialihkan Angkut Komoditas Lainnya
Oleh karena itu, lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) meminta pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM menghilangkan disparitas harga tersebut dengan mengevaluasi kebijakan DMO.
“Kebijakan DMO harus ditinjau ulang, kenapa penambang enggan, karena disparitas harga pasar dengan DMO jauh sekali, tentunya pengusaha tidak salah juga mencari profit,” kata Ahli Transisi Energi dan Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangannya, Senin (3/1/2022).
Dia menilai disparitas harga antara PLN yang mengambil batubara dengan harga 70 dolar AS per metrik ton terlalu tinggi dengan selisih harga internasional.
Apalagi harga batu bara tahun lalu sempat menyentuh level 270 dolar AS per metrik ton. Walaupun saat ini sudah turun harganya ke 140 dolar AS, namun masih jauh di atas harga DMO.
Fabby menyarankan pemerintah menerapkan harga dinamis terkait harga domestik batu bara. “DMO dibuat dinamis di bawah harga internasional tapi tidak tetap, konsekuensinya memang harga listrik PLN naik. Kalau harga naik, PLN akan dipaksa memakai energi terbarukan,” ujarnya.
Baca juga: Larang Ekspor Batubara, Komisi VII: Harus Tegas, Jangan Hanya Gertak Sambal
Mengenai larangan sementara ekspor batu bara terhitung 1-31 Januari 2022 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Fabby mengamini urgensi ketersediaan bahan baku batubara untuk pasokan PLN agar tidak terjadi pemadaman listrik.
Kendati demikian, dirinya memaklumi adanya protes yang disampaikan Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid P bahwa kebijakan dikeluarkan pemerintah terkait larangan ekspor batubara tersebut terkesan terburu-buru dan tidak melibatkan pelaku usaha.
Fabby menilai kebijakan itu menghantam semua pemain batubara di Indonesia. Padahal banyak pelaku usaha di sektor tersebut yang mematuhi kebijakan DMO.
Fabby menekankan pentingnya penerapan energi terbarukan untuk jaminan pasokan energi jangka panjang.
Dia bilang, pemerintah harus mencabut kebijakan DMO dalam 2-3 tahun ke depan sehingga harga listrik batubara merefleksikan harga ekonomi sebenarnya.
Baca juga: Pengamat: Larangan Ekspor Batu Bara akan Membangkitkan Sektor Angkutan Laut Domestik
Sebelumnya saat rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi VII DPR RI pad 15 November lalu, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, DMO batu bara ditujukan untuk mengatur volume dan harga batu bara untuk industri di dalam negeri, sebagaimana diatur oleh pemerintah di dalam Peraturan Menteri ESDM.
Bila aturan DMO dilepas, dirinya berargumen hal itu akan berdampak pada kepastian pasokan batu bara dalam negeri.
Hal lain, langkah itu diyakini turut memicu lonjakan biaya yang pada ujungnya berdampak pada kenaikan subsidi atau tarif listrik masyarakat.
Dampak kedua bila DMO ini dicabut potensi kenaikan harga batu bara yang akan berdampak langsung pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.
Kenaikan ongkos produksi ini disampaikan Zulkifli juga akan berdampak langsung pada subsidi dan kompensasi listrik dari pemerintah ke PLN.
Adaro Terimbas
Pemerintah melarang perusahaan batubara melakukan penjualan batubara ke luar negeri sejak tanggal 1 sampai dengan 31 Januari 2022.
Sebaliknya, perusahaan tambang wajib memasok seluruh produksi batubaranya untuk memenuhi kebutuhan listrik untuk kebutuhan dalam negeri.
Dalam keterbukaan informasi, Senin (3/1), PT Adaro Energy Tbk (ADRO) mengakui, sudah menerima mandat pelarangan sementara ekspor batubara ini dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut pada 31 Desember 2021.
Informaasi dalam surat tersebut juga menyebutkan, pelarangan penjualan batubara ke luar negeri tersebut akan dievaluasi dan ditinjau kembali berdasarkan realisasi pasokan batubara untuk PLTU Grup PT PLN dan Independent Power Producer (IPP).
Manajemen Adaro menyebutkan, ada sejumlah anak-anak usahanya yang terdampak dengan surat pelarangan sementara ekspor batubara tersebut.
Anak-anak usahanya antara lain PT Adaro Indonesia, Balangan Coal Companies (PT Semesta Centramas, PT Laskar Semesta Alam, dan PT Paramitha Cipta Sarana), PT Mustika Indah Permai, serta PT Maruwai Coal.
Adaro mengatakan, atas diterbitkannya surat-surat tersebut, anak-anak usahanya yang terdampak tersebut sedang mempersiapkan langkah-langkah yang dianggap perlu dalam menyikapi situasi ini, baik terhadap kebijakan pemerintah maupun perikatan yang ada dengan pihak-pihak terkait lainnya.
"Apalagi, mengingat bahwa anak-anak perusahaan telah memenuhi kewajiban yang berhubungan dengan pengutamaan kebutuhan dalam negeri sesuai dengan peraturan perundangperundangan yang berlaku," tulis Adaro.
Perusahaan masih akan terus memonitor dampak dari kewajiban pelarangan tersebut.
Pada periode Januari-September 2021, pendapatan ADRO dari ekspor mencapai US$ 1,96 miliar. Dengan total pendapatan ADRO sebesar US$ 2,56 miliar, ekspor berkontribusi 76,56% terhadap pendapatan.
Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Febriati Nadira juga pada Minggu (2/1) mengatakan, estimasi total penjualan batubara Adaro ke pasar domestik di tahun 2021 mencapai 26%-27%.
Dengan begitu, telah memenuhi besaran yang disyaratkan pemerintah yaitu domestic market obligation (DMO) 25%. (Dina Mirayanti Hutauruk/Sanny Caecilia)