Ketua DPR Puan Maharani: Dana JHT Hak Pekerja, Bukan Uang Dari Pemerintah
Puan meminta agar Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) untuk meninjau ulang tata cara pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) bagi masyarakat.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ketua DPR RI Puan Maharani akhirnya buka suara soal Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua yang menuai kontroversi belakangan ini.
Puan mengkritik pemerintah dan meminta agar Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) untuk meninjau ulang tata cara pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) bagi masyarakat.
Ia mengingatkan bahwa dana JHT adalah hak para pekerja, bukan milik pemerintah.
"Perlu diingat, JHT bukanlah dana dari Pemerintah, melainkan hak pekerja pribadi karena berasal dari kumpulan potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh," kata Puan Maharani dalam keterangan tertulisnya dikutip Kompas.com dari Antara, Rabu (16/2/2022).
Baca juga: Sultan Usulkan JHT Dicairkan pada Usia Minimal 45 Tahun
Puan mengatakan hal itu menyoroti Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat banyak penolakan.
Banyak penolakan lantaran permenaker baru ini mengubah cara pencairan JHT.
Lewat beleid itu, klaim JHT baru bisa dilakukan 100 persen saat pekerja berada pada usia masa pensiun, yaitu 56 tahun, mengalami cacat total tetap, dan meninggal dunia (kepada ahli waris).
"Kebijakan itu sesuai dengan peruntukan JHT. Namun, kurang sosialisasi dan tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat, khususnya para pekerja," kata Puan Maharani.
Ia menilai permenaker ini memberatkan para pekerja yang membutuhkan pencairan JHT sebelum usia 56 tahun.
Baca juga: Daftar 6 Jenis Program Jaminan Sosial: JKN, JKK, JHT, JP, JKM dan JKP
Apalagi, dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, tak sedikit pekerja yang kemudian dirumahkan atau bahkan terpaksa keluar dari tempatnya bekerja.
"Banyak pekerja yang mengharapkan dana tersebut sebagai modal usaha, atau mungkin untuk bertahan hidup dari beratnya kondisi ekonomi saat ini. Sekali lagi, JHT adalah hak pekerja," katanya menandaskan.
Meski para pekerja yang terdampak PHK (pemutusan hubungan kerja) bisa memanfaatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), hal tersebut dianggap tidak cukup.
Tahun Puan menilai JKP bukan solusi cepat bagi pekerja yang mengalami kesulitan ekonomi.
"Program JKP sendiri baru mau akan diluncurkan akhir bulan ini. Untuk bisa memanfaatkannya, pekerja yang di-PHK harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang prosesnya tidak sebentar," ujarnya.
Baca juga: Perencana Keuangan: Dana JHT untuk Jaring Pengaman Pekerja Saat Butuh Dana di Hari Tua
Salah satu kriteria bagi penerima manfaat JKP adalah dengan membayar iuran program JKP 6 bulan berturut-turut selama 12 bulan dalam 24 bulan saat masih bekerja.
Belum lagi dana yang diterima pun tidak bisa langsung seperti layaknya JHT.
"Lantas bagaimana dengan pekerja yang kemudian mengalami PHK untuk 24 bulan ke depan dan membutuhkan dana? Mereka tidak bisa langsung menerima manfaat JKP, tetapi juga tidak bisa mencairkan JHT," ujar Puan.
Mantan Menko PMK ini pun menilai subsidi atau bantuan sosial dari Pemerintah tidak bisa menjadi jawaban utama untuk masyarakat yang terkena dampak PHK.
Selain karena program tersebut belum bisa menjangkau seluruh korban PHK, subsidi dan bansos bukan solusi jangka panjang.
"Padahal, masyarakat harus terus melanjutkan hidup. Mereka harus mampu bertahan dengan mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya," kata cucu Proklamator RI Bung Karno itu.
Baca juga: Apa Penjelasan Menaker Ida Fauziyah Soal Polemik Aturan JHT Cair di Usia 56 Tahun?
Oleh karena itu, kata Puan, Permenaker Nomor 02 Tahun 2022 ditinjau kembali.
Ia juga mengingatkan Pemerintah untuk melibatkan semua pihak terkait dalam pembahasan persoalan JHT, termasuk perwakilan para pekerja/buruh dan DPR.
"Dalam membuat kebijakan, Pemerintah harus melibatkan partisipasi publik dan juga perlu mendengarkan pertimbangan dari DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat," kata Puan.
Penjelasan Airlangga
Penjelasan pemerintah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memastikan, klaim JHT BPJS Ketenegakerjaan bisa dilakukan sebelum memasuki usia 56 tahun. Namun demikian, klaim hanya dibatasi sekitar 10 persen dan 30 persen.
Rinciannya yaitu 30 persen untuk kebutuhan kredit perumahan atau sekitar 10 persen untuk kebutuhan lainnya. Klaim JHT 100 persen hanya bisa dilakukan pada usia 56 tahun sesuai Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
"(JHT) dapat dicairkan sebelum masa pensiun dengan persyaratan tertentu, telah mengikuti kepesertaan sebanyak 10 tahun minimal. Nilai yang dapat diklaim paling banyak 30 persen dari jumlah JHT untuk kredit perumahan atau paling banyak 10 persen untuk kebutuhan di luar kebutuhan perumahan," kata Airlangga dalam konferensi pers.
Airlangga mengungkapkan, pemerintah punya alasan membatasi usia untuk klaim JHT jadi minimal 56 tahun.
Klaim pada usia 56 tahun membuat pekerja mendapat manfaat lebih banyak, utamanya dari akumulasi uang yang lebih besar. Menurut dia, akumulasi uang tunai mampu menjamin hidup pekerja di masa tua.
"JHT merupakan perlindungan buruh jangka panjang. Dengan adanya Permenaker 2/2022 akumulasi iuran dan manfaat akan diterima lebih besar jika peserta mencapai usia pensiun yaitu di usia 56 tahun," ujar
Di sisi lain bagi pekerja yang mengalami PHK bisa memanfaatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Klaim JKP mulai efektif per tanggal 1 Februari 2022 untuk perlindungan pekerja.
Dia bilang, jumlah uang tunai yang didapat pekerja usai mengalami PHK lebih besar dengan program JKP dibanding JHT.
Menurut perhitungannya, buruh bisa mendapat uang tunai sebesar Rp 10,5 juta dengan memanfaatkan JKP.
Besarannya dihitung dengan formulasi 45 persen × upah × 3 bulan pertama dan 25 persen × upah × 3 bulan terakhir.
Namun upah yang digunakan adalah upah terakhir yang dilaporkan, dengan batas upah Rp 5 juta.
Artinya jika memiliki upah Rp 5 juta/bulan, maka manfaat yang diterima sebesar Rp 10,5 juta.
Sedangkan dengan mekanisme lama, pekerja yang terkena PHK hanya mendapat uang tunai sebesar Rp 7,19 juta.
"Dengan mekanisme yang lama, dengan JHT dapat iurannya adalah 5,7 persen (dari gaji) Rp 5 juta, yaitu Rp 285.000 dikali 24 bulan yaitu Rp 6,84 juta.
Dan tambahan 5 persen, lalu pengembangan 2 tahun Rp 350.000 sehingga mendapatkan Rp 7,190.000. Secara efektif regulasi ini memberikan Rp 10,5 juta dibanding Rp 7,1 juta," tandas dia. (Muhammad Idris)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puan Kritik JHT Tunggu 56 Tahun: Itu Bukan Dana Pemerintah"