Pemerintah Sri Lanka Naikkan Pajak Demi Tutup Kerugian Akibat Krisis Devisa
Krisis ekonomi yang tak kunjung mereda telah mengantarkan inflasi Sri Lanka ke level tertinggi hingga mencapai 39,1 persen pada Mei kemarin.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Krisis ekonomi yang tak kunjung mereda telah mengantarkan inflasi Sri Lanka ke level tertinggi hingga mencapai 39,1 persen pada Mei kemarin.
Kondisi inilah yang membuat pemerintah Sri Lanka melakukan perombakan perpajakan demi meningkatkan pendapatan di tengah krisis.
Dengan perombakan tersebut nantinya biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak penghasilan perusahaan (PPh Badan) yang dibebankan pada masyarakat Sri Lanka akan naik mulai Oktober mendatang.
Baca juga: Genjot Kinerja Keuangan, TELE Jalankan Tiga Fokus Utama
Dilansir dari Aljazeera, biaya pajak PPN akan meningkat dari 8 persen menjadi 12 persen. Dengan kenaikan ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pemerintah sebesar 65 miliar rupee Sri Lanka atau 180,56 juta dolar AS.
Sementara untuk PPh pemerintah berencana menaikkan pajak menjadi 30 persen dari sebelumnya hanya 24 persen, hasil dari kenaikan pajak ini diperkirakan mencapai 52 miliar rupee atau 143,46 juta dolar AS. Dana tersebut nantinya akan diserahkan kepada menteri keuangan untuk menutup kerugian krisis imbas inflasi.
Baca juga: Sri Lanka Borong 90.000 Ton Minyak Rusia Demi Hidupkan Kilang Ceylon Petroleum
Menurut Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe, langkah tersebut perlu diterapkan untuk meringankan beban negara dalam menghadapi krisis devisa.
“Implementasi rencana konsolidasi fiskal yang kuat sangat penting melalui peningkatan pendapatan serta langkah-langkah rasionalisasi pengeluaran pada tahun 2022,” kata Wickremesinghe.
Lebih lanjut Wickremesinghe menambah peningkatan biaya pajak dapat melebarkan defisit anggaran secara signifikan menjadi 12,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2021 lalu yang hanya 9,6 persen.
Meski keputusan ini memicu lonjakan harga pada barang – barang impor namun ahli ekonomi makro di perusahaan investasi Asia Securities, Lakshini Fernando menyebut bahwa kenaikan pajak berpotensi mengembalikan pendapatan publik ke tingkat pra-pandemi.
Mengingat selama beberapa tahun terakhir, pemotongan pajak di Sri Lanka telah menyebabkan kerugian pendapatan publik sekitar 800 miliar rupee 2,2 miliar dolar AS per tahun. Dengan pulihnya pendapatan publik, negara dapat melanjutkan program konsolidasi fiskal dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mencari paket pinjaman restrukturisasi utang.
“Kenaikan pajak jelas merupakan langkah awal yang sangat positif, terutama untuk pembicaraan IMF dan restrukturisasi utang,” tutup Fernando.