Pengguna BBM Subsidi Bakal Dibatasi, Ini Lho Kendaraan Yang 'Diharamkan' Pakai Pertalite
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengungkapkan, kajian dilakukan pada kendaraan di atas 2.000 cc.
Editor: Hendra Gunawan
BPH Migas pun kini masih menanti undangan untuk pembahasan lebih lanjut.
Salah satu poin yang bakal dibahas dalam pembahasan tersebut yakni dampak khususnya untuk aspek sosial jika kebijakan baru tersebut diberlakukan.
Yang terang, dalam aturan yang baru tersebut, BPH Migas merencanakan adanya pengaturan atau identifikasi ulang untuk konsumen pengguna jenis BBM tertentu solar.
Baca juga: UPDATE Harga Pertamax dan Pertalite Hari Ini, 7 Juni 2022 di SPBU Seluruh Indonesia
Selain itu, juga akan diatur ketentuan untuk konsumen pengguna Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.
Di sisi lain, Erika memastikan sejumlah persiapan lain juga tengah dilakukan BPH Migas.
"Kami menyiapkan aturan turunannya berupa Peraturan Kepala dan Surat Keputusan," imbuh Erika.
Adapun, aturan turunan tersebut berupa peraturan BPH Migas sebagai aturan pelaksanaan dan SK yang memuat ketentuan pengendalian volume BBM subsidi.
Bisa Timbulkan Masalah
Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, pembatasan BBM subsidi ini justru bakal menimbulkan masalah serius pada tataran operasional di lapangan.
“Secara umum kebijakan ini akan menimbulkan kerancuan pada tataran operasional, karena ada satu barang yang sama, kualitasnya sama, tetapi harganya berbeda-beda,” ujar Tulus, dalam keterangannya dikutip Kompas.com.
Dari sisi daya beli, Tulus menilai kebijakan pembatasan BBM bakal menekan daya beli konsumen, khususnya pengguna roda empat pribadi, yang selama ini menggunakan BBM pertalite.
Baca juga: Soal Mobil Mewah Dilarang Beli Pertalite, DPR: Harusnya Kaum Mampu Malu Beli BBM Subsidi
Sebab, pengguna Pertalite jika bermigrasi ke Pertamax berarti kenaikan harganya sebesar Rp 4.850 per liter.
Jauh lebih tinggi daripada kenaikan harga Pertamax itu sendiri, yakni dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 atau naik Rp 3.500 per liter.
“Secara politis, kebijakan itu juga bisa dikatakan sebagai bentuk ambigu. Di satu sisi pemerintah tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, tetapi praktiknya terjadi kenaikan harga, malah jauh lebih tinggi,” ucap Tulus.