Inflasi Global, Manufaktur RI Bakal Sulit Dapat Bahan Baku, Masyarakat Didorong Pakai Produk Lokal
inflasi global berdampak cukup besar bagi manufaktur Indonesia, dimana industri mulai sulit mendapatkan bahan baku.
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Inflasi tengah menjadi momok baru bagi negara-negara di dunia. Sebut saja negara adidaya seperti Amerika yang mengalami inflasi 8,6 persen, yang menjadi angka tertinggi sejak 41 tahun lalu.
Kemudian ada Inggris yang tingkat inflasi yang menuju di atas 11 persen, sementara beberapa negara Eropa mulai masuk ke inflasi zona Euro mencapai 8,6 persen pada bulan Juni.
Sedangkan Indonesia, inflasi di negeri ini masih terbilang lebih kecil ketimbang negara-negara di atas, dimana pada Juni 2022 tercatat 4,35 persen.
Akan tetapi, inflasi global berdampak cukup besar bagi manufaktur Indonesia, dimana industri mulai sulit mendapatkan bahan baku.
Baca juga: Inflasi Melonjak, Jerman Catat Defisit Perdagangan Bulanan Pertama Sejak 1991
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika, mengatakan inflasi paling tinggi berpengaruh pada logistik dan bahan baku.
"Memang inflasi yang paling tinggi itu berpengaruh pada transportasi atau logistik. Nah yang kedua yang inflasinya sangat tinggi adalah produk-produk industri yang masih banyak kandungan impornya. Dua itu yang paling utama sekali, sehingga sekarang di Kementerian Perindustrian hal itu salah satu yang didorong bagaimana secara nasional benar-benar harus menggunakan produk-produk dalam negeri," tutur Putu saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Untuk menjaga kinerja industri, Pemerintah mendorong berbagai kebijakan, diantaranya melalui gerakan Buy Indonesian Product.
Baca juga: Thailand Juga Dilanda Lonjakan Inflasi, Tertinggi Sejak 14 Tahun Terakhir
Putu menambahkan, Presiden bersama Menko Perekonomian dan Menteri Perindustrian telah mengarahkan berbagai instansi dan lembaga pemerintah untuk memanfaatkan anggarannya dengan membeli berbagai produk buatan dalam negeri.
"Memanfaatkan anggaran pemerintah untuk mengutamakan pembelian produk dalam negeri. Ini akan membantu karena dengan impor turun, industri dalam negeri akan naik dan pertumbuhan juga naik," ungkapnya.
Inflasi 2022 Diprediksi Melesat Hingga 4,5 Persen
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan laju inflasi sepanjang tahun ini dapat mencapai 4,5 persen (year on year/yoy).
"Inflasi mengalami tekanan 3,5 persen sampai 4,5 persen," kata Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Jumat (1/7/2022).
Adanya perihal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira langsung memberikan komentar.
Dirinya melihat sudah mulai ada tanda-tanda inflasi mengarah ke stagflasi.
Sebagai informasi, seperti dilansir Kompas, stagflasi adalah kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguran yang tinggi.
Baca juga: Tekan Inflasi, Bank Sentral Korea Selatan Kerek Suku Bunga 50 Poin
Kondisi ini biasanya diikuti dengan kenaikan harga-harga atau inflasi.
Stagflasi juga bisa didefinisikan sebagai kondisi pada sebuah periode inflasi yang dikombinasikan dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kenaikan inflasi yang tinggi bulan Juni misalnya bersifat abnormal, karena secara musiman paska lebaran idealnya inflasi mulai menurun akibat normalisasi harga pangan," papar Bhima kepada Tribunnews, Jumat (1/7/2022).
"Inflasi yang tidak wajar pertanda adanya sinyal Stagflasi yakni kondisi kenaikan inflasi tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja," sambungnya.
Bhima kembali melanjutkan, masih ada 11,5 juta orang tenaga kerja yang terdampak pandemi, diantaranya korban PHK dan masih alami pengurangan jam kerja.
Baca juga: Penyesuaian Tarif Listrik Disebut Tak Berdampak Signifikan Terhadap Inflasi
Tekanan inflasi beberapa bulan ke depan diperkirakan berlanjut sehingga inflasi hingga akhir tahun dapan mencapai 4,5 persen hingga 5 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Risiko terbesar adalah imported inflation yakni pelemahan kurs yang membuat harga berbagai barang didalam negeri meningkat.
Maka dari itu, lanjut Bhima, sudah waktunya Pemerintah lebih serius soal pangan.
Pemerintah juga harusnya menambah alokasi subsidi pupuk, karena biaya produksi pangan naik akibat harga pupuk mahal.
Kemudian, pemangkasan rantai distribusi bahan pangan juga wajib dilakukan. Karena terlalu panjang, sehingga kenaikan harga pangan tidak menguntungkan petani. Tetapi malah menguntungkan spekulan atau pedagang besar.
"Pemerintah juga harus memperkuat jaring pengaman sosial khususnya bantuan selama pandemi harus dilanjutkan agar 40 persen kelompok paling bawah bisa terlindungi dari stagflasi," ungkap Bhima
"Pemerintah juga perlu naikkan serapan kerja di sektor industri manufaktur maupun UMKM dengan bauran kebijakan," pungkasnya.
Aktivitas Manufaktur di Asia Melemah Meskipun China Mulai Bangkit, Picu Kekhawatiran Resesi Global
Aktivitas manufaktur di Asia pada bulan Juni harus terhenti, setelah banyak perusahaan mengalami gangguan pasokan yang disebabkan oleh penguncian atau lokcdown Covid-19 yang ketat di China.
Sementara risiko perlambatan ekonomi yang tajam di Eropa dan Amerika Serikat meningkatkan kekhawatiran akan resesi global.
Berdasarkan survei yang dilakukan hari ini, Jumat (1/7/2022), menunjukkan aktivitas pabrik di China pada bulan Juni kembali berkembang, meskipun pertumbuhan aktivitas pabrik di wilayah lain seperti Jepang dan Korea Selatan mengalami perlambatan, serta kontraksi di Taiwan, yang menyoroti ketegangan dari gangguan rantai pasokan, kenaikan biaya dan kekurangan bahan baku terus berlanjut.
Baca juga: Sinyal Resesi AS, CELIOS Beri Lima Saran Kebijakan Ini Untuk RI
Aktvitas manufaktur China berkembang paling cepat dalam 13 bulan terakhir di bulan Juni, karena pemerintah China mencabut lockdown Covid-19 di kota-kota besar negara itu, yang membuat pabrik-pabrik berlomba untuk memulai produksi dan memenuhi permintaan konsumen.
Pencabutan lockdown Covid-19 di China dapat mengurangi hambatan rantai pasokan, dan memungkinkan produsen mobil dan produsen lainnya untuk menlanjutkan produksi setelah mengalami krisis pasokan.
Namun beberapa analis memperingatkan tatangan baru seperti meningkatnya kekhawatiran pasar akibat Federal Reserve AS menaikkan suku bunga secara agresif untuk menekan inflasi yang melonjak, sehingga mendorong AS ke jurang resesi.
Baca juga: Perekonomian Terguncang, Amerika Disebut Semakin Dekat Menuju Resesi
Banyak negara memperketat kebijakan ekonominya, di tengah tekanan inflasi yang memanas, yang memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi global yang tajam dan mengguncang pasar keuangan dalam beberapa bulan terakhir.
Kepala ekonom di Dai-ichi Life Research Institute Jepang, Yoshiki Shinke mengatakan, meskipun ada harapan perekonomian China akan meningkat, namun ekonomi AS dan Eropa diperkirkaan akan mengalami perlambatan.
"Ada harapan bahwa ekonomi China akan meningkat setelah periode beberapa kelemahan. Tapi sekarang ada risiko perlambatan ekonomi AS dan Eropa. Ini akan menjadi tarik ulur antara keduanya, meskipun ada banyak ketidakpastian atas prospek ekonomi global," kata Yoshiki Shinke, yang dilansir dari Reuters.
Indeks manajer pembelian (PMI) au Jibun Bank Japan Manufacturing merosot ke 52,7 di bulan Juni, dari 53,3 di bulan Mei, namun di atas tanda 50 poin yang memisahkan kontraksi dari pertumbuhan bulanan.
PMI Global S&P Korea Selatan juga turun di bulan Juni menjadi 51,3, dari 51,8 di bulan Mei. Penurunan ini disebabkan karena hambatan rantai pasokan dan dampak dari aksi mogok para pengemudi truk di bulan Juni.
Data terpisah menunjukkan ekspor Korea Selatan tumbuh pada laju paling lambat dalam 19 bulan terakhir di bulan Juni.
Namun sisi baiknya, PMI manufaktur Caixin/Markit China naik menjadi 51,7 di bulan Juni, dari 48,1 di bulan sebelumnya. Kenaikan ini jauh di atas ekspektasi para analis yang sebelumnya memperkirakan kenaikan ke 50,1.
Sementara PMI global S&P Taiwan turun menjadi 49,8 pada bulan Juni, dari 50,0 di bulan Mei. Sedangkan PMI Vietnam juga anjlok menjadi 54,0 di bulan Juni, dari 54,7 di bulan sebelumnya.
Lockdown di China akibat pandemi Covid-19, telah mengganggu logistik dan rantai pasokan regional dan global, dan Jepang serta Korea Selatan melaporkan manufakturnya mengalami penurunan tajam produksi.
Ekonomi China telah menunjukkan pemulihan dari guncangan krisis rantai pasokan yang disebabkan oleh lockdown yang ketat, meskipun risiko tetap ada seperti permintaan pasar yang lemah dan ketakutan akan gelombang wabah Covid-19 yang baru.