BI Beber Risiko Stagflasi, Pemerintah Kejar Kepatuhan Wajib Pajak
Pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu stagflasi karena membuat perekonomian dunia tertekan karena pembatasan aktivitas masyarakat.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dinamika perekonomian dunia kini mengalami pergeseran dan mengalami ketidakpastian fundamental akibat pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, yang memicu gejolak harga komoditi.
"Setidaknya ada empat yang membuat terjadinya stagflasi dunia yaitu pandemi covid-19, geopolitik, gangguan rantai pasok dan proteksionisme," ungkap Kepala Grup Departemen Ekonomi & Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) Wira Kusuma dalam Forum Merdeka Barat 9, Senin (25/7/2022).
Stagflasi merupakan sebuah kondisi ekonomi yang melambat dan biasanya disertai dengan kenaikan harga-harga pokok atau inflasi.
Menurut Wira, pandemi Covid-19 yang paling pertama membuat perekonomian dunia tertekan karena pembatasan aktivitas masyarakat.
"Saat ini memang sudah terjadi pemulihan ekonomi di beberapa negara sebagai dampak dari penanganan sangat baik tapi masih ada risiko dengan munculnya varian baru," urainya.
Wira menilai walaupun varian Covid-19 tidak seberat varian sebelumnya, laju ekonomi tetap sulit kembali ke posisi terbaiknya.
Baca juga: Kondisi Ekonomi Indonesia Dihantui Stagflasi, Ekonom Beberkan Risikonya Terhadap Perekonomian RI
Dia menyebut ketegangan geopolitik yang masih berkepanjangan yakni perang Rusia dengan Ukraina menganggu pasokan minyak dan komoditi gandum ke pasar dunia.
"Kelangkaan atas kebutuhan minyak dan gandum tersebut membuat negara menerapkan tren proteksionisme," tutur Wira.
Baca juga: Sri Mulyani Isyaratkan Stagflasi Ekonomi Dunia Akibat Perang di Ukraina
Dia menyebut negara-negara di dunia memilih untuk mengamankan pasokannya terutama pangan agar bisa bertahan di tengah kondisi stagflasi.
Tren proteksionisme ini tentu saja membuat beberapa negara yang tergantung impor atau dari negara lain dirundung rasa kekhawatiran.
"Belum lagi gangguan rantai pasokan atau supply chain disruption yang membuat harga menjadi tidak stabil," imbuh Wira.
Menurutnya, saat ini PDB dunia menurun perkembangannya, kemudian harga komoditas global meningkat dengan adanya proteksionisme dan supply chain disruption.
Dampaknya yang paling nyata inflasi global, hampir seluruh harga komoditas seperti minyak dan gas bumi global melambung.
"Inflasi mendorong negara adikuasa Amerika Serikat merespons melalui kebijakan moneter di mana The Fed fund rate meningkat 75 basis poin," tutur Wira.