Ekonomi Inggris Terpukul Lonjakan Harga Energi, Risiko Resesi Semakin Meningkat
Data resmi yang dirilis pemerintah Inggris, produk domestik bruto meningkat 0,2 persen pada Juli 2022.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Ekonomi Inggris tumbuh lebih rendah dari perkiraan akibat kenaikan harga energi yang tajam, dan harga bahan baku.
Kondisi ini memukul sektor konstruksi, sehingga meningkatkan risiko terjadinya risiko resesi.
Data resmi yang dirilis pemerintah Inggris hari ini, Senin (12/9/2022), produk domestik bruto meningkat 0,2 persen pada bulan Juli, di bawah perkiraan sebelumnya yaitu 0,4 persen.
Baca juga: Resesi Datang dalam Waktu Dekat, Goldman Sachs Sarankan Timbun Komoditi
Beberapa ekonom mengatakan data yang dirilis Kantor Statistik Nasional (ONS) hari ini, menunjukkan ekonomi negara itu mengalami penyusutan untuk periode Juli hingga September, setelah mengalami kontraksi sebesar 0,1 persen pada bulan April hingga Juni.
"Ini berarti Inggris memasuki resesi teknis untuk pertama kalinya sejak pembatasan penguncian berakhir," kata seorang ekonom di PwC, Jake Finney.
Paul Dales dari perusahaan riset ekonomi Capital Economics mengatakan "rebound kecil yang mengecewakan dalam PDB riil pada bulan Juli menunjukkan bahwa ekonomi memiliki sedikit momentum dan mungkin sudah dalam resesi".
Pada Agustus 2022, Bank of England memperkirakan resesi Inggris akan berlangsung dari akhir 2022 hingga awal 2024, yang sebagian besar didorong oleh kenaikan harga energi akibat konflik antara Rusia dan Ukraina.
Pekan lalu, Perdana Menteri Inggris Liz Truss mengumumkan batas tarif energi domestik dan putaran pemotongan pajak yang diharapkan dapat mengurangi pukulan lebih lanjut terhadap ekonomi Inggris.
Namun kebijakan tersebut memakan keuangan publik hingga 100 miliar pound atau 116 miliar dolar AS.
Baca juga: Ekonomi Inggris Makin Tertekan, Nilai Pound Sterling Turun ke Level Terendah Sejak 37 Tahun Terakhir
ONS mengatakan, lonjakan harga listrik telah menurunkan permintaan energi di Inggris. Sementara biaya listrik di Inggris naik 54 persen pada bulan Juli lalu.
Gelombang panas pada bulan Juli lalu, kemungkinan menjadi salah satu faktor di balik penurunan permintaan listrik di Inggris, meskipun hal itu mendorong keuntungan bagi produsen es krim dan kunjungan ke taman hiburan maupun klub golf, kata ONS.
Meskipun ekonomi Inggris melambat, Bank of England diperkirakan akan menaikkan kembali suku bunga pada 22 September mendatang untuk mengendalikan inflasi yang mencapai di atas 10 persen.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.