Likuiditas Longgar, Bank Butuh Dua Kuartal untuk Sesuaikan Suku Bunga
ndustri perbankan membutuhkan waktu cukup lama untuk menyesuaikan bunga simpanan dan suku bunga kreditnya terhadap kenaikan bunga acuan 50 basis poin.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, AKARTA - Bank Indonesia (BI) menyatakan, industri perbankan membutuhkan waktu cukup lama untuk menyesuaikan bunga simpanan dan suku bunga kreditnya terhadap kenaikan bunga acuan yang ditetapkan BI.
Deputi Gubernur Senior BI Destri Damayanti mengatakan, kondisi saat ini masih belum kembali normal dari dampak Covid-19. Apalagi, likuiditas perbankan masih longgar.
“Saat RDG BI Agustus 2022, BI rate naik 25 bps. Di pasar suku bunga dana dan kredit perbankan masih turun. Bunga dana turun 44 bps menjadi 2,9 persen dan bunga kredit turun 48 bps jadi 8,94 persen,” ujarnya.
Saat situasi normal, biasanya transmisi penyesuaian suku bunga antara satu hingga dua triwulan untuk melihat dampaknya.
Destri mengatakan, dengan likuiditas perbankan yang banyak, BI memprediksi tidak akan banyak berdampak.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, transmisi suku bunga kebijakan ke suku bunga deposito perbankan membutuhkan waktu satu kuartal. Sedangkan transmisi suku bunga kebijakan ke bunga kredit hingga dua kuartal.
“Pada Agustus 2022, BI rate naik 25 basis poin (bps). Di pasar suku bunga dana dan kredit perbankan masih turun. Bunga Dana turun 44 bps menjadi 2,9% dan bunga kredit 48 bps jadi 8,94%,” ujarnya.
Dia menjelaskan, saat normal, biasanya transmisi penyesuaian antara satu hingga dua triwulan untuk melihat dampaknya.
Sebelumnya, BI telah menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen, Kamis kemarin.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 21-22 September 2022.
Baca juga: Ikuti Jejak The Fed, Bank Indonesia Akhirnya Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 4,25 persen
"Rapat dewan gubernur Bank Indonesia pada tanggal 21 dan 22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen," ucap Perry dalam konferensi pers Bank Indonesia, Kamis (22/9/2022).
Untuk suku bunga Deposit Facility juga naik 50 basis poin menjadi 3,5 persen dan suku bunga Lending Facility naik 50 basis poin menjadi 5,0 persen.
Perry menjelaskan, keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga ini sebagai langkah front loaded, preemptive dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3 persen plus minus 1 persen pada paruh kedua tahun 2023.
Baca juga: Suku Bunga Acuan Naik 50 Bps, Bagaimana Nasib Rupiah?
Keputusan ini ditujukan untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah peningkatan permintaan inflasi domestik yang tetap kuat.
"Bank Indonesia juga terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi nasional," ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2022 terjadi inflasi sebesar 4,69 persen secara tahunan. Penyebab utamanya inflasi berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 7,73 persen secara tahunan.
Baca juga: The Fed Naikkan Suku Bunga 75 Basis Poin, Bagaimana Dampaknya ke Ekonomi Indonesia?
Jika dirinci komoditas yang dominan atau memberikan andil pada inflasi adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau diantaranya cabai merah, minyak goreng, rokok kretek filter, telur ayam ras, dan bawang merah.
Kenaikan suku bunga acuan tersebut tidak lepas dari keputusan The Federal Reserve atau The Fed yang memutuskan menaikkan suku bunga acuannya 75 basis poin menjadi 3 persen sampai 3,25 persen.
Bagaimana dampak terhadap ekonomi Indonesia atas kenaikan suku bunga The Fed?
Senior ekonom Bank DBS Indonesia Radhika Rao menilai, kebijakan The Fed ini akan berdampak ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Namun, Radhika menilai ekonomi Indonesia yang sudah pulih usai pandemi, maka dampaknya tidak terlalu besar dari kenaikan suku bunga The Fed.
“Apa yang terjadi di AS juga akan berdampak ke Tanah Air. Dalam hal pandangan global, kami melihat ekonomi Indonesia mulai pulih. Di mana mobilitas, seperti masyarakat yang mulai ke kantor, ke sekolah, dan pariwisata yang bergeliat mendorong optimisme,” kata Radhika.
Menurutnya, indeks kepercayaan konsumen di Indonesia juga mulai meningkat, sehingga optimisme kebangkitan ekonomi juga muncul.
Sementara negara berkembang mengalami masalah supply chain, Indonesia justru diuntungkan dari sektor komoditi. Pun demikian sektor manufaktur yang mulai bangkit.
“Data perdagangan Agustus memperkuat pandangan DBS Group Research bahwa tahun 2022 akan menandai tahun kedua berturut-turut surplus transaksi berjalan. Ini menjadi pertanda baik bagi stabilitas eksteral dan prospek mata uang,” kata Radhika.
Memasuki tahun 2023, penurunan harga komoditas dan peningkatan impor seiring dengan pulihnya permintaan domestik diperkirakan akan mendorong defisit tipis neraca transaksi berjalan.
“Pasar obligasi mulai menunjukkan arus yang keluar, sementara kinerja ekuitas yang melampaui pasar menarik minat investor," ungkapnya.
"Investasi asing meningkat secara stabil, dan ini diharapkan menjaga kelancaran neraca pembayaran secara keseluruhan tetap terkendali,” lanjutnya.
Secara global, beberapa sentimen lain seperti kebijakan net zero Covid-19 di China juga mempengaruhi pasar Asia. China banyak melakukan lockdown di beberapa daerah sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi negara Tirai Bambu itu.
“Pertumbuhan ekonomi China yang melambat, ditambah masalah geopolitik Rusia dan Ukraina juga perlu menjadi perhatian, karena bisa menyebabkan masalah pasokan,” kata dia.
Head of Trading Treasury and Market, DBS Bank Ronny Setiawan mengatakan The Fed masih akan berpotensi menaikkan suku bunga acuan hingga akhir tahun hingga 4,5 persen.
Dia mengatakan, di pasar global Indeks S&P 500 seluruhnya sudah mengalami penurunan kecuali sektor energi.
“IHSG kita konsentrasinya banyak di komoditi dan perbankan. Jadi, so far kalau kita lihat, IHSG kita positif ya, dan belum ada dampak dari kenaikan suku bunga The Fed. Ekonominya kita tidak buruk ya, selama GDP-nya positif jadi sebenarnya orang masih menghasilkan profit,” kata dia.
Dana Asing
Pemerintah mewaspadai kemungkinan risiko keluarnya dana asing atau capital outflow usai Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin.
"Kita tetap harus waspada terhadap kemungkinan gejolak dari capital outflow itu karena kenaikan suku bunga yang sangat hawkis," kata Sri Mulyani.
Namun, Sri Mulyani optimistis perekonomian Indonesia masih cukup baik menghadapi kenaikan suku bunga The Fed, seiring neraca perdagangan yang masih surplus dan juga cadangan devisa yang relatif stabil.
Menurutnya, sikap waspada bukan hanya dilakukan Indonesia saja tetapi negara berkembang lainnya.
"Sebetulnya dinamika dari capital outflow dengan pengumuman dari mulai normalisasi, atau yang disebut kenaikan suku bunga yang kemudian menimbulkan dampak. Itu sudah mulai terjadi selama ini. Tahun 2022 ini sebetulnya capital outflow dari emerging country sudah sangat terjadi dan bahkan cukup dramatis," ujar Sri Mulyani.
Hal tersebut menyebabkan banyak negara yang pembiayaannya akan sulit atau pengelolaan utangnya.
Bahkan International Monetary Fund (IMF) memperkirakan bahwa 60 negara akan menghadapi kesulitan di dalam pembiayaan utang.
Dengan kebijakan yang diambil oleh The Fed, Sri Mulyani menyarankan untuk negara-negara berkembang memperkuat resiliensi untuk menghadapi risiko capital outflow.
"Walaupun sudah disampaikan berkali-kali, proyeksi terhadap The Fed yang akan diperkirakan suku bunganya bisa mencapai di atas 4 persen tahun depan sudah dimasukkan di dalam perkiraan dinamika dari capital outflow," katanya.(Tribun Network/ism/van/ktn/kps/wly)