Soal Aturan Check In di Hotel Dipenjara, Pengusaha Hotel Meradang
Pasal tersebut lanjut Yusran dinilainya bakal berdampak terhadap pemulihan ekonomi di sektor pariwisata khususnya perhotelan
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang - Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal perzinaan menuai kontroversi.
Hal tersebut saat muncul aturan bahwa pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori II atau mencapai Rp 10 juta bagi mereka yang belum menikah ketahuan check in di hotel.
Aturan tersebut membuat pengusaha hotel meradang. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan jika aturan tersebut disahkan, maka kondisi membawa bukti pasangan legal seperti itu nantinya diperlukan karena berpeluang kena hukum pidana.
Baca juga: Pasangan Check In Hotel Belum Nikah Dipidana, GIPI: Harus Jelas, Nanti Orang Enggan Bisnis Hotel
"Itu karena bagaimanapun orang yang menginap berpotensi ada pidana. Karena itu, kita berharap masalah pasal ini masuk ranah privat, masalah moral, bukan pidana karena kita lihat semua negara punya aturan beda-beda yang akan berdampak ke industri pariwisata," katanya kepada Tribun, Minggu (23/10/2022).
Lebih lanjut, Yusran menambahkan, bahwa masalah terkait perzinahan sebenarnya juga telah diatur oleh pemerintah daerah masing-masing.
"Kita sekarang gini, masalah perzinahan masing-masing daerah sudah punya aturan main sendiri. Tidak usah ranah pidana, misal pemda melalui Satpol PP dan seterusnya," ujarnya.
Pasal tersebut lanjut Yusran dinilainya bakal berdampak terhadap pemulihan ekonomi di sektor pariwisata khususnya perhotelan yang sebenarnya saat ini sudah mulai membaik.
Ia mengatakan, tingkat keterisian atau okupansi hotel saat ini sudah lebih baik dibanding 2020 dan 2021, di mana ada pembatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19.
Baca juga: PHRI Minta Pasangan Belum Nikah Check In di Hotel Tak Masuk Ranah Pidana: Ganggu Industri Pariwisata
"Okupansi hotel 2021 ada peningkatan karena pada 2020 dan 2021 kondisinya PPKM. Kalau tahun 2022, sudah tidak ada pembatasan, termasuk cost of traveling contohnya test Covid-19," ujarnya.
Saat ini kata Yusran tingkat keterisian sudah melebihi 40 persen meski belum setara dengan sebelum ada pandemi. "Rata-rata okupansi sampai bulan ini 44 persen. Kalau sebelum Covid-19 pada 2019 sekira 56 persen," katanya.
Sementara dari sisi makro dengan segala macam dinamika tantangan mulai dari kenaikan harga hingga ancaman resesi global turut mewarnai bisnis hotel tahun depan. Kendati demikian, Yusran mengaku tetap ada optimisme untuk sektor pariwisata karena didukung wisatawan domestik yang angkanya besar.
Dengan demikian, wisatawan domestik diharapkan jadi penopang bisnis perhotelan pada 2023, sebagai satu di antara strategi menghadapi tantangan resesi global. Namun, dia menambahkan, jangan sampai ada peraturan yang menghambat pemulihan bisnis di sektor pariwisata seperti wacana check in tidak nikah bisa kena pidana.
"Kita harap jangan ada tantangan-tantangan lagi seperti RKUHP, walaupun delik aduan tidak perlu masuk ranah pidana. Sementara, kalau hotel syariah dikembangkan silakan, tapi tidak seluruh Indonesia karena Indonesia beragam, jangan semua disyariahkan," pungkasnya.
Pindah ke Apartemen
Wakil Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Sudrajat mengatakan, rancangan aturan tersebut harus lebih jelas karena jika menginap di hotel bisa dipermasalahkan, maka tamu dapat beralih ke apartemen.
"Nanti orang tidak mau berbisnis di hotel-hotel lagi, iya mending di apartemen saja. Intinya mudah-mudahan bisa diluruskan, masing-masing agama bisa terjaga, dan industri perhotelan tidak kena dampak," ujarnya.
Kendati demikian, menurut Sudrajat, wacana aturan tersebut sebenarnya berdampak positif dari sisi tanggung jawab spiritual.
"Ya, saya sebetulnya sebagai pelaku industri perhotelan itu akan berdampak meskipun positif, sangat bagus. Hanya memang akan timbul masalah karena orang harus bawa surat nikah, tapi selama sesuai agama apapun positif," katanya.
Namun, dinilainya jangan sampai peraturan terkait perzinahan tersebut dibuat hanya untuk menyasar bisnis perhotelan saja. "Ini yang jadi masalah tindak pidananya, pelaku hotel ikut tanggung jawab sampai sejauh mana? Kalau begitu yang di kos-kosan, villa-villa bagaimana? Kalau menyasar hanya ke hotel, hotel menjadi restricted area, artinya merepotkan," pungkasnya.
Baca juga: Pasangan Check In Hotel Belum Nikah Dipidana, GIPI: Harus Jelas, Nanti Orang Enggan Bisnis Hotel
Delik Aduan
Ternyata tidak lantas semua pasangan tidak sah yang menginap di hotel berdua bisa dipenjara atau dipidana. Sebab, aturan ini termasuk delik aduan. Rencananya, draf ini akan disahkan pada akhir tahun 2022. Berikut ketentuan kumpul kebo yang tertulis dalam draf RKHUP.
Pasal 416
1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Namun pada ayat (2) di pasal yang sama, disebutkan bahwa ancaman pidana ini merupakan delik aduan. Artinya, hanya bisa dipidana apabila ada yang mengadukan.
Pihak yang mengadu pun, diatur. Hanya bisa diadukan oleh:
a. Suami atau istri, bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang tua atau anaknya, bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Lebih lanjut, dalam ayat (3) di pasal tersebut, tertuang bahwa pengaduan tak bisa dilakukan jika termasuk dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 25, 26 dan 30 di RKUHP tersebut:
Pasal 25
(1) Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun, yang berhak mengadu merupakan Orang Tua atau walinya.
(2) Dalam hal Orang Tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau Orang Tua atau wali itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis lurus.
(3) Dalam hal keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.
(4) Dalam hal Anak tidak memiliki Orang Tua, wali, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas ataupun menyamping sampai derajat ketiga, pengaduan dilakukan oleh diri sendiri dan/atau pendamping.
Baca juga: PHRI Minta Pasangan Belum Nikah Check In di Hotel Tak Masuk Ranah Pidana: Ganggu Industri Pariwisata
Pasal 26
(1) Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan berada di bawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi Korban Tindak Pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.
(2) Dalam hal pengampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus.
(3) Dalam hal suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.
Pasal 30
(1) Pengaduan dapat ditarik kembali oleh pengadu dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan.
(2) Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.
Adapun ayat 4 dalam pasal 416 tentang kumpul kebo menyebutkan bahwa pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. (Tribun Network/van/kps/wly)