Antisipasi Resesi, Pemerintah Disarankan Lindungi Petani Tembakau
Kinerja cukai hasil tembakau pada semester I 2022 mencapai Rp 118 triliun dan secara historis menyumbang sekitar 95 persen dari total pendapatan cukai
Penulis: Sanusi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menilai ekosistem pertembakauan sebagai salah satu lingkup industri andalan yang berkontribusi terhadap penerimaan negara, memiliki peran signifikan sebagai salah satu unit penyangga perekonomian.
Kinerja cukai hasil tembakau (CHT) pada semester I 2022 mencapai Rp 118 triliun dan CHT sendiri secara historis menyumbang sekitar 95 persen dari total pendapatan cukai.
Bahkan untuk tahun depan, pemerintah menargetkan pendapatan cukai sebesar Rp 245,45 triliun. Target tersebut naik 11,6 persen dibandingkan yang ditetapkan dalam Perpres 98/2022.
Melihat sumbangsih dan target penerimaan negara yang dibebankan kepada komoditas tembakau, AMTI menilai ekosistem pertembakauan semestinya mendapat perlindungan dan keberpihakan pemerintah.
Baca juga: Akademisi Sebut Pemerintah Perlu Pertimbangkan Berbagai Sisi saat Merumuskan Kebijakan CHT
Saat ini kelangsungan IHT terancam lewat berbagai regulasi pertembakauan yang tidak berimbang dan eksesif.
Sekjen AMTI Hananto Wibisono menekankan ada lebih dari 6 juta masyarakat yang menggantungkan hajat hidupnya secara langsung pada kelangsungan ekosistem pertembakauan di Indonesia.
"Maka, ketika dihadapkan pada berbagai proyeksi kondisi global, ekosistem pertembakauan seharusnya mendapatkan perlindungan bahkan didorong, diberi kesempatan untuk tumbuh. Pemerintah seharusnya bisa dan punya andil untuk menjadikan ekosistem pertembakauan nasional sebagai segmen industri padat karya yang lebih maju, memiliki nilai tambah, berdaya saing global dan menjangkau SDM yang lebih banyak," kata Hananto, Senin (24/10/2022).
Baca juga: Ditjen Bea Cukai: Kenaikan Tarif CHT Belum Diputuskan
Dalam konteks tenaga kerja, Hananto mencontohkan, ketika gelombang PHK mulai dirasakan sejak pandemi hingga awal 2022, ekosistem pertembakauan melalui segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) justru tetap menyerap tenaga kerja dalam dua tahun terakhir.
Nilai lebihnya, tenaga kerja baru 95 persen adalah perempuan atau ibu-ibu yang mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga.
"Perlu disadari bahwa ancaman resesi tidak hanya berkaitan dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi namun juga berkurangnya lapangan pekerjaan. Realitanya, elemen ekosistem pertembakauan yakni segmen SKT justru masih mampu berkontribusi menyerap tenaga kerja. Oleh karena itu, kami berharap pemerintah dapat menunjukkan komitmen keberpihakannya. Salah satunya dengan memberikan perlindungan pada SKT sebagai elemen penting ekosistem pertembakauan," Hananto menjelaskan.
Di antaranya dengan menunda kebijakan CHT sebagai stimulus terhadap ekosistem pertembakauan termasuk kepada segmen SKT.
Di sisi lain, kenaikan harga kebutuhan pokok dan daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya, lanjut Hananto, bisa menjadi parameter perekonomian bagi pemerintah untuk untuk tidak menaikkan CHT 2023 demi melindungi 6 juta tenaga kerja pada elemen mata rantai ekosistem pertembakauan.
"Mulai dari petani yang saat ini menghadapi tantangan kondisi cuaca hingga harga pupuk, membuat panen tidak maksimal. Pekerja yang dihantui oleh bayang-bayang pengurangan tenaga kerja, pabrikan dan industri yang sedang sekuat tenaga menjaga kestabilan operasional, pedagang UMKM dan retailer kecil yang sedang bangkit hingga konsumen yang berupaya memulihkan daya beli akan merasakan dampak secara langsung dan menyeluruh akibat naiknya tarif CHT. Jangan sampai kebijakan CHT di tengah kondisi inflasi dan ancaman resesi justru mematikan seluruh penghidupan di ekosistem pertembakauan," tegas Hananto.